JAKARTA, suarapembaharuan.com – Usai Lebaran, buruh di Indonesia menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) gelombang kedua.
![]() |
Presiden KSPI dan juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal. (Ist) |
Ancaman PHK gelombang kedua ini digadang-gadang tak kalah “dahsyat” dengan PHK gelombang pertama. Penyebabnya, kebijakan Presiden Donald Trump terkait kenaikan tarif barang masuk ke Amerika Serikat.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyebut beberapa serikat pekerja sudah diajak berunding oleh manajemen mengenai rencana PHK.
Namun, belum ada kejelasan soal jumlah buruh yang akan terkena dampak, waktu pelaksanaannya, maupun pemenuhan hak-hak mereka.
Selain itu, KSPI dan Partai Buruh juga telah menemukan sejumlah perusahaan berada dalam kondisi goyah dan sedang mencari format untuk menghindari PHK.
“Dengan diterapkannya kebijakan tarif impor dari Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan tersebut diprediksi semakin terjerembab lebih dalam,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Sabtu (5/4/2025).
Dia mengatakan, industri yang paling rentan terdampak gelombang kedua PHK antara lain tekstil, sepatu, garmen, elektronik, makanan dan minuman yang berorientas ekspor ke Amerika Serikat serta industri minyak sawit, pertambangan dan perkebunan karet.
“Kalkulasi kami, diperkirakan ada tambahan 50.000 buruh yang di-PHK dalam tiga bulan pascapenerapan tarif baru tersebut,” imbuhnya.
Menurutnya, kenaikan tarif sebesar 32 persen membuat barang produksi Indonesia menjadi lebih mahal di pasar Amerika. Konsekuensinya, permintaan menurun, produksi dikurangi dan perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, termasuk PHK pegawai.
“Bahkan, dalam beberapa kasus, perusahaan memilih menutup operasionalnya,” ungkapnya.
Dia menambahkan, perusahaan yang bergerak di sektor tekstil, garmen, sepatu, elektronik dan makanan-minuman umumnya adalah milik investor asing, bukan domestik. Karena itu, jika situasi ekonomi tidak menguntungkan, investor asing dengan mudah bisa memindahkan investasinya ke negara lain yang memiliki tarif lebih rendah dari Indonesia.
“Sebagai contoh, sektor tekstil kemungkinan akan pindah ke Bangladesh, India atau Sri Lanka, yang tidak terkena kebijakan tarif dari AS,” bebernya.
Namun, kata dia, tidak semua investor asing akan hengkang. Investor dari Taiwan, Korea Selatan dan Hongkong, yang selama ini mendominasi sektor tekstil di Indonesia, mungkin akan tetap memproduksi di Indonesia, tetapi dengan brand atau merk dari negara lain seperti Sri Lanka. Di sisi lain, ada juga industri yang tidak bisa begitu saja pindah, seperti Freeport atau industri kelapa sawit.
“Bukan berarti mereka tidak akan melakukan PHK. Justru, PHK menjadi langkah paling mudah untuk menekan biaya operasional,” ujarnya.
Sebelumnya, Indonesia telah mengalami gelombang pertama PHK yang cukup besar. Berdasarkan catatan Litbang KSPI dan Partai Buruh, sebanyak 60.000 buruh telah mengalami PHK yang berasal lebih dari 50 perusahaan sepanjang Januari hingga Maret 2025.
Para buruh yang terkena PHK tersebut mayoritas tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR), termasuk buruh Sritex yang hingga Lebaran usai belum juga menerima hak THR mereka. (MAN)
Kategori : News
Editor. : AHS
Posting Komentar