Tingkatkan Puasa, Mari Mengukur Diri

Oleh KH. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI


Puasa Ramadan merupakan ibadah yang balasan pahalanya diberikan secara langsung oleh yang mensyariatkan-Nya. Karena itu, dalam menjalankan ibadah puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, semestinya dikerjakan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT. 



“Semua amal Bani Adam akan dilipatgandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman, ‘Kecuali puasa, ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya (secara langsung).” (H.R. Muslim).


Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin mengungkapkan tiga tingkatan orang berpuasa. Setelah mengetahuinya, seseorang dapat mengukur diri termasuk tingkatan puasa pada level apa.


Pertama, puasa umum. Yaitu puasanya orang awam, yang hanya sebatas dengan menahan perut dari makan dan minum, serta menahan kemaluan dari keinginan syahwat. Selain keduanya, anggota badan lainnya tidak turut dijaga dari hal yang bisa membatalkan pahala puasa. 


Kedua, puasa khusus. Yaitu orang yang berpuasa dengan menahan selain perut dan kemaluan, juga anggota badan lainnya seperti pendengaran, pandangan, lidah, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat. 


Ketiga, puasa khusushul khushus. Yaitu, selain melakukan semua yang disebutkan dalam puasa umum dan khusus, ditambah dengan menahan hati dari memikirkan kesenangan duniawi, dan hanya fokus pada ibadah kepada Allah. Ini tingkatan puasanya para nabi dan rasul.


Dari ketiga tingkatan orang berpuasa, seorang muslim hendaknya berupaya menempati tingkatan puasa khusus. Ini tingkatan puasa orang saleh. Orang yang menempati tingkatan puasa khusus ini akan berusaha menjaga kesempurnaan dalam enam hal.


Pertama, menundukkan dan menahan padangan dari melihat hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah SWT. Nabi SAW bersabda, “Pandangan adalah salah satu anak panah beracun di antara anak panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang mendapatkan kelezatan di dalam hatinya.” (H.R. Hakim).


Kedua, menjaga lisan dari dusta; ghibah; bergunjing; perkataan keji, pertengkaran, dan perdebatan; mengendalikan dengan diam; menyibukkan dengan dzikir; dan membaca Alquran. Inilah puasanya lisan.  


Ketiga, menahan pendengaran dari mendengarkan hal-hal yang dibenci. Karena itu, Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan hal yang diharamkan dengan orang yang memakan harta yang haram. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 42).


Keempat, menahan anggota badan lainnya seperti tangan, kaki, dan perut dari berbuat dosa dan maksiat. Jika tidak bisa menjaganya dari dosa dan maksiat, maka menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.” (H.R. Nasai dan Ibnu Majah).


Kelima, tidak memperbanyak makan makanan halal pada saat berbuka puasa hingga perut kekenyangan. Tidak ada wadah paling dibenci oleh Allah selain perut yang kekenyangan dari makanan yang halal.


Keenam, hendaknya setelah berbuka, hatinya merasakan antara cemas dan harap, sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima atau ditolak. Sehingga ia berusaha menjaga amanah puasa tersebut. Nabi SAW bersabda, “Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di antara kalian menjaga amanahnya.” (H.R. Al-Khara’ithi).


Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimin agar dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan pada tingkatan khsusus. Amin.


Penulis merupakan Pembina Korps Mubaligh HK serta Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.


Kategori : Opini


Editor     : ARS

1 Komentar

  1. Alhamdulillah terima kasih sudah berbagi ilmu Pa Imam.

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama