Tugas Berat Menanti Mendiktisaintek Baru

Oleh : Ahmad Muhajir


Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun kemajuan suatu bangsa. Namun, jika suatu bangsa ingin dihancurkan, hal itu tak perlu dilakukan dengan perang atau senjata. Cukup dengan merusak sistem pendidikannya dan mengabaikan para pendidiknya. Ketika para pendidik tidak dihargai, martabat profesi guru dan dosen akan tergerus, yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang kurang berpikir kritis, mudah termakan hoaks, dan rentan terhadap perpecahan.



Untuk menghindari kehancuran bangsa akibat lemahnya pendidikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah meningkatkan anggaran pendidikan, bukan justru menjadikannya sasaran efisiensi dengan pengurangan dana. Pendidikan seharusnya tidak diperlakukan sebagai prioritas kedua, karena masalah pendidikan merupakan hal yang paling utama bagi kemajuan negara.


Jika akhir-akhir ini kita sering melihat bahwa para dosen berdemenstrasi atau turun ke jalan, itu bukan sekadar aksi unjuk rasa biasa. Ini adalah tanda bahwa ada yang salah dalam sistem, dan lebih parah lagi, ini adalah cermin kegagalan moral para pejabat yang telah mengesampingkan hak-hak mereka selama lima tahun terakhir.


Aksi protes yang dilakukan oleh para pendidik ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan cerminan dari kegagalan sistem yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Dosen, sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan, seharusnya dihormati dan diberi hak-hak yang layak, bukan justru diabaikan. 


Fakta bahwa mereka harus turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi menunjukkan betapa pemerintah telah lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya. Situasi ini juga mengungkapkan betapa pendidikan moral para pejabat, yang seharusnya menjadi teladan, justru berada pada titik nadir. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap pemimpin akan semakin terkikis, dan masa depan pendidikan serta moral bangsa akan semakin terancam.


Rapor merah layak diberikan kepada para pejabat yang tampak acuh dan sepele dalam memperhatikan kesejahteraan para dosen di negeri ini. Para dosen, sebagai ujung tombak pendidikan, hidup di bawah tekanan yang luar biasa, baik dalam menjalankan tanggung jawab akademis maupun memenuhi tuntutan administratif yang semakin membebani. Namun, penghargaan dan penghormatan terhadap mereka justru sering diabaikan, bahkan dianggap sebagai lelucon oleh para politisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memajukan pendidikan.


Alih-alih fokus pada efisiensi anggaran pendidikan yang justru membatasi ruang gerak para pendidik, seharusnya yang dipangkas adalah gaya hidup mewah para pejabat. Rumah dinas megah, mobil-mobil mewah, dan perjalanan dinas yang seringkali tidak jelas manfaatnya harus menjadi prioritas untuk dikurangi. Dana yang dihemat dari sana seharusnya dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, seperti, tunjangan kesehatan yang memadai, dan insentif yang sesuai dengan beban kerja mereka.


Selain itu, kehadiran IKN bukan menjadi prioritas utama jika dibandingkan dengan mendesaknya perbaikan sistem pendidikan dan kesejahteraan para pendidik. Negeri ini membutuhkan kebijakan yang lebih manusiawi dan berpihak pada mereka yang benar-benar berjuang di garis depan untuk mencerdaskan bangsa, bukan sekadar proyek-proyek megah yang hanya menguntungkan segelintir elite.


Ketimpangan Penghasilan

Besaran gaji yang diterima dosen pegawai negeri sipil di Indonesia bervariasi, tergantung pada golongan serta jabatan fungsional. Secara umum, gaji dosen PNS dihitung berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja, serta ditambah dengan tunjangan fungsional yang disesuaikan dengan jenjang akademik dan sertifikasi. Namun, meskipun terdapat variasi dalam besaran gaji, rata-rata gaji pokok dosen di Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asia Pasifik. 


Sebagai contoh, dosen di Singapura, Malaysia, atau Australia menerima gaji yang jauh lebih tinggi, bahkan untuk jenjang karir yang setara. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kualitas pendidikan tinggi jika kompensasi bagi para pendidiknya masih tertinggal. Padahal, dosen memegang peran kunci dalam mencetak generasi penerus bangsa yang kompeten dan berdaya saing global. 


Jika mengutip tulisan Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang pada rubrik opini Media TIMES Indonesia. “Salah satu masalah utama dalam kebijakan tunjangan kinerja (tukin) dosen adalah adanya diskriminasi berdasarkan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN). 


Dosen di PTN Satuan Kerja (Satker) dan beberapa PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum menerapkan sistem remunerasi seringkali tidak menerima tukin yang layak, bahkan ada yang tidak mendapatkan sama sekali. Hal ini menciptakan ketimpangan yang signifikan antara dosen di berbagai institusi, padahal tanggung jawab dan beban kerja yang mereka emban relatif sama.”


Beliau juga memaparkan, sementara itu, nasib dosen di banyak PTN Badan Hukum (BH) justru lebih mengenaskan. Mereka tidak hanya tidak menerima tukin, tetapi juga hanya mendapatkan remunerasi dalam jumlah yang fluktuatif dengan nominal sangat jauh di bawah besaran tukin yang seharusnya. Kondisi ini semakin memperparah ketidakadilan dalam sistem penggajian dosen di Indonesia.


Namun, dalam hal remunerasi yang minim, bukan berarti pemerintah semata yang perlu disalahkan. Kealpaan ini layak ditimpakan kepada pengelola PTN BH yang seharusnya secara kreatif mencari peluang income generating melalui unit-unit bisnis yang dikembangkan. Hakikat remunerasi sejatinya adalah kompensasi dari keuntungan berbagai unit bisnis yang dikelola oleh perguruan tinggi tersebut. Oleh karena itu, jika besaran remunerasi yang diterima dosen kecil, hanya ada dua kemungkinan penyebabnya.


Pertama, pengelola PTN BH kurang kreatif dalam menemukan celah income generating yang dapat meningkatkan pendapatan institusi. Kedua, meskipun income generating tinggi, pengelolaan dan pengucuran remunerasinya “bermasalah”, baik karena ketidakefisienan sistem atau potensi penyalahgunaan dana.


Ketimpangan ini tidak hanya merugikan dosen secara individual, tetapi juga berdampak pada kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dosen yang seharusnya fokus pada pengajaran dan penelitian justru terbebani oleh masalah kesejahteraan yang belum terpenuhi. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini dapat memperlebar jurang ketidakadilan dan menghambat kemajuan pendidikan nasional. 


Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak, baik pemerintah maupun pengelola PTN, untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan dalam hal remunerasi dan kesejahteraan dosen.


Dosen dan Peran Ganda

Dosen memiliki peran ganda yang sangat penting, yaitu mengajar dan meneliti. Salah satu indikator dosen yang bermutu adalah seberapa banyak publikasi ilmiah yang telah dihasilkan. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana proses berpikir dosen dapat optimal jika kesejahteraannya masih belum diperhatikan dengan baik? 


Dosen adalah profesi yang secara langsung bersentuhan dengan upaya mencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Oleh karena itu, bidang pendidikan tidak boleh terbengkalai dan harus mampu menggugah generasi muda untuk mau menekuni serta berkontribusi dalam dunia akademik. Sayangnya, hingga saat ini, kegiatan penelitian dosen masih dibebani dengan urusan administrasi pertanggungjawaban keuangan yang rumit.


Seorang peneliti tidak hanya harus berpikir keras tentang bagaimana meningkatkan kualitas data risetnya, tetapi juga harus terampil mengelola urusan kwitansi dan laporan keuangan dana riset yang harus diserahkan kepada institusinya. 


Hal ini seringkali menjadi beban tambahan yang dapat mengurangi fokus dan produktivitas dosen dalam menghasilkan penelitian yang bermutu. Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan. 


Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menyederhanakan proses administrasi dan meningkatkan kesejahteraan dosen agar mereka dapat lebih fokus pada tugas utama mereka, yaitu menciptakan pengetahuan baru dan mendidik generasi penerus bangsa dengan lebih baik.


Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang baru memiliki tugas berat untuk membawa perubahan dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. Harapan besar tertumpu pada kebijakan-kebijakan yang pro-kesejahteraan dosen, peningkatan kualitas pendidikan, dan penguatan penelitian serta publikasi ilmiah. 


Jika langkah-langkah strategis dan inovatif dapat diimplementasikan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu pusat pendidikan dan penelitian terkemuka di Asia Tenggara. Masyarakat akademik menanti kepemimpinan yang visioner dan berani, karena masa depan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas pendidikan tingginya.


Penulis adalah Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.


Kategori : Opini


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama