PBHI Beberkan Sejumlah Pasal yang Harus Dievaluasi dalam Revisi UU Kejaksaan

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) membeberkan sejumlah pasal yang harus dievaluasi dalam revisi Undang-undang (RUU) Kejaksaan yang saat ini sedang mendapat sorotan publik. Hal tersebut disebabkan karena pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan yang berlebih kepada kejaksaan sehingga berpotensi merampas kemerdekaan masyarakat.



"UU Kejaksaan tercatat telah mengalami 2 kali perubahan dari UU 16/2004 dan UU 11/2021, diusulkan bersamaan dengan undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana dan trennya tren perubahan undang-undang di Indonesia cenderung menambah wewenang lembaga negara, termasuk kejaksaan," ujar pengurus PBHI Gina Sabrina dalam diskusi publik refleksi penegakan hukum bertajuk 'Quo Vadis Penambahan Kewenangan Penegakan Hukum dan Urgensi Pengawasan Publik' di Jakarta, Kamis (20/2/2025).


Gina mengatakan publik perlu menaruh perhatian terhadap RUU Kejaksaan ini. Pasalnya, di dalam RUU Kejaksaan, ads penambahan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang berkaitan erat dengan upaya paksa.


"Jadi, ada tren kenaikan dalam upaya paksa (perampasan kemerdekaan). Hak memperoleh keadilan banyak diadukan kepada Komnas HAM. Kejaksaan banyak diadukan berkaitan dengan pelanggan kode etik dan penetapan, penahanan sewenang-wenang," tandas Gina.



Gina lalu membeberkan sejumlah pasal dalam revisi UU Kejaksaan yang perlu dievaluasi. Pertama, Pasal 30B yang mengatur pemberian kewenangan intelijen hukum kepada kejaksaan, termasuk penyelidikan, pengamanan, serta pengawasan multimedia (patroli siber). 


"Pengaturan tersebut berpotensi mengancam kebebasan berekspresi," tegas Gina.


Kedua, Pasal 11A yang mengizinkan jaksa merangkap jabatan di luar kejaksaan, misalnya di perwakilan RI di luar negeri. Menurut Gina, hal tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan.



Ketiga, Pasal 8 ayat (5) yang mengatur jaksa yang dikenai upaya paksa harus mendapat izin dari Jaksa Agung. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap praktik obstruction of justice, seperti dalam kasus Jaksa Pinangki dan pemerasan guru di Indragiri Hilir. Terakhir, Pasal 30C yang mengatur pemberian kewenangan penyadapan kepada kejaksaan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.


"Perubahan UU Kejaksaan harus mempertimbangkan mekanisme  check and balances agar tidak berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Alih-Alih memperkuat kewenangan kejaksaan, lebih baik memperkuat pengawasan terhadapnya," pungkas Gina.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama