JAKARTA, suarapembaharuan.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto (HK), akhirnya ditetapkan jadi tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW), anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku (HM).
Tindakan KPK sungguh memalukan, karena mengorbankan Independensi dan Profesionalisme KPK atau KPK merusak dirinya dan melacurkan profesinya hingga runtuh digdayanya akibat ulah KPK sendiri.
Publik menilai penetapan status tersangka kepada HK, jelas memposisikan KPK sebagai alat politiknya Jokowi, lewat kroni-kroni Jokowi yang masih berada di dalam pemerintahan Kabinet Merah Putih. Kroni-kroni itu secara efektif mengeksekusi keinginan Jokowi termasuk menjadikan HK tersangka, sekaligus jadi tumbal politik "Partai Perorangan" Jokowi.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, karena paradoks dengan visi Presiden Prabowo yang bertekad menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, sementara institusi KPK yang sudah berada di rezim Prabowo Subianto, namun politisasi hukum dan institusi hukum, yang selama ini menjadi model penegakan hukum di era Jokowi, masih saja mendapat tempat di KPK dan institusi Penegak Hukum lainnya (Polri dan Kejaksaan).
KPK dijadikan alat politik untuk kepentingan politik seorang Jokowi, melalui apa yang disebut sebagai "Partai Perorangan" yang nota bene masih organisasi tanpa bentuk (OTB), namun operatornya adalah kroni-kroni Jokowi di dalam pemerintahan Kabinet Merah Putih tentu saja lewat "Partai Perorangan" dan "Partai Coklat".
QUO VADIS NEGARA HUKUM
Peristiwa di mana HK akhirnya ditersangkakan oleh KPK pada tanggal 23/12/ 2024, setelah perkara pokok diputus Majelis Hakim Kasasi dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 2/6/2021 atau 3 (tiga) tahun yang lalu, kini penyidikannya dibuka kembali dengan aksi publisitas yang tinggi bahwa HK akan ditersangkakan untuk setiap kali HK bersuara keras mengkritik (Jokowi).
Ini merupakan salah satu contoh kasus yang unik, oleh karena baru pertama kali setelah sebuah penyidikan dinyatakan sempurna tanpa HK diproses hukum hingga putusan Mahkamah Agung berkekuatan hukum tetap serta telah dilaksanakan, namun setelah 5 tahun kemudian muncul nama HK dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan perintangan penyidikan. Ini jelas berimplikasi hukum akan mengubah putusan menutup jalannya proses hukum terhadap HK.
Pola susulan nama tersangka kemudian setelah sebuah proses hukum diputus dan putusannya berkekuatan hukum tetap, merupakan model baru dan unik, karena ini menunjukan KPK melacurkan profesinya sebagai Penyidik dan Penuntut Umum, bahkan sekaligus mengukuhkan posisi KPK menjadi alat politik Jokowi meskipun Jokowi tidak lagi berkuasa di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Jokowi nampak secara sistematis mempersiapkan sarana dan prasarana sebelum lengser dari posisi Presiden, untuk bagaimana menjerat lawan politiknya ketika tidak lagi berkuasa, sehingga ia bisa mempersenjatai diri secara politik lewat apa yang disebut sebagai Partai Perorangan guna membungkam lawan-lawan politiknya lewat KPK, menjungkir balikan "Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Yang Tetap" atas nama Terdakwa suap Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.
MEMERAS PENGAKUAN.
Penyidik KPK diduga kuat melalukan prakrek "memeras pengakuan" dan merekayasa, merangkai keterangan Saksi-Saksi, bisa saja keterangan Saeful Bahri dan Doni Tri Istiqomah, cukup dengan menduga bahwa uang Rp.680 juta yang diberikan kepada Komisoner KPU Wahyu Setiawan, sebagian berasal dari uang HK.
Memeras pengakuan dari Saksi atau Tersangka adalah pola kerja penyidik HIR pada era Orde Baru. Karena itu Saeful Bahri, Donny Tri Istiqomah dan beberapa saksi lainnya yang diperiksa oleh Penyidik KPK pada sekitar Juni dan Juli 2024 disebut-sebut mengalami intimidasi, kemudian hasil intimidasi dan pemerasan keterangan itu dirangkaikan menjadi suatu perbuatan atau kejadian yang seolah-olah terdapat persesuaian antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana suap itu sendiri, seolah-olah peristiwa suap itu ikut dilakukan oleh HK.
Konstruksi hukum yang dibangun penyidik KPK dalam mentersangkakan HK, akan mengacaukan seluruh hasil penyidikan KPK, Surat Dakwaan Penuntut Umum KPK dan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga Putusan Mahkamah Agung dalam perkara suap a/n. Terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.
Mengapa, karena berdasarkan hasil penyidikan KPK yang telah dinyatakan sempurna dan lengkap oleh Penuntut Umum KPK, kemudian berkas perkara dilimpahkan ke persidangan Pengadilan untuk diverifikasi dan divalidasi secara terbuka termasuk HK ikut didengar keterangannya di bawah sumpah sebagai Saksi, telah ditemukan bukati-bukti sempurna dan meyakinkan bahwa yang terlibat suap hanyalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina sebagai (Penerima Suap) dan Saeful Bahri dan HM adalah selaku (Pemberi Suap).
KPK SENDIRI MERINTANGI.
Kegagalan KPK menangkap HM, adalah bukti bahwa KPK sendiri yang merintangi penyidikan terhadap HM, mengapa karena secara tim kerja, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki KPK dan kecanggihan alat sadap yang dimiliki KPK, maka tidak ada istilah KPK gagal meng OTT setiap orang, kecuali internal KPK sendiri yang membocorkan rencana OTT dan itu yang seringkali terjadi selama ini.
Dalam penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan kepada HM yang hingga saat ini dinyatakan buron, maka yang membuat KPK secara institusi gagal menangkap HM seharusnya Para Penyidik KPK itu sendiri. Mereka teledor, mereka melacurkan diri kemudian informasi OTT itu dibocorkan, maka yang harus dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus perintangan penyidikan HM adalah oknum Penyidik KPK itu sendiri.
Dengan demikian KPK harus segera membatalkan Penetapan Tersangka a/n. HK, oleh karena terdapat bukti-bukti yang kebenarannya tak terbantahkan lagi, yaitu bahwa yang menyuap Penyelenggara Negara Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina adalah Saeful Bahri, sementara HM masih berstatus tersangka yang belum bisa dibuktikan.
KPK TIDAK BERWENANG.
Ketentuan pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, secara tegas membatasi KPK hanya boleh melakukan penyelidikan, [penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam pada itu pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019 juga mewajibkan KPK menyerahkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara Tindak Pidana Korupsi yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dalam kasus suap kepada Wahyu Setiawan, Komisioner KPU, nilai uang suap yang diberikan atau diterimakan kepada Wahyu Setiawan oleh Saeful Bahri dan Harun Masiku hanya bernilai sebesar Rp. 683.000.000,00 dan itu berarti kurang dari Rp. 1 miliar dan bukan berkategori kerugian negara.
Dengan demikian, maka menurut ketentuan pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, seharusnya penyidikan dan penuntutan kasus HM dan sekarang HK, sejak awal wajib hukumnya dilimpahkan kepada Kepolsian dan/atau Kejaksaan, namun kenyataannya KPK secara bertentangan dengan kewajibannya, tetap melakukan penyidikan dan penuntutan dengan melanggar ketentuan pasal 11 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa :
Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPK wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dengan demikian maka KPK harus segera menghentikan pelanggaran hukum yang dilakukannya selama ini, terlebih-lebih telah menjadikan KPK sebagai alat melampiaskan ambisi dan dendam Jokowi terhadap lawan poltiknya Cq. Hasto Kristiyanto dan PDIP serta pihak lain yang tidak sejalan dengannya.
TIM PEMBELA DEMOKRASI INDONESIA (TPDI)
Petrus Selestinus
Erick S. Paat
Carrel Ticualu
Robert B. Keytimu
Paulet J.S. Mokolensang
Pitria Indriningtiyas
Ricky D. Moningka
Davianus Hartoni Edy
Posting Komentar