"Darurat Penyelamatan Polri" : Respon Terhadap Urgensi Pengembalian Reputasi Negara Akibat Kasus Pemerasan DWP 2024

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.


Gelombang kritik terhadap kinerja Pemerintah ternyata kini mulai berdatangan. Beberapa pernyataan yang terkesan blunder maupun salah tindakan mulai viral atau menarik keprihatinan masyarakat. Mulai dari permasalahan praktek di Pilkada, lemahnya pengawasan di ruang siber, penembakan dan pembunuhan oleh Polisi, pemaafan koruptor, hingga terakhir pemerasan oleh Polisi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP). 



Kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini membuat citra Pemerintah menurun terutama di penghujung tahun 2024. Tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia penegakan hukum telah mengalami penurunan atau bahkan rusak. Hal ini tentu mengganggu citra Pemerintah, stabilitas keamanan dan hukum, serta sektor-sektor lainnya sebagai dampak nyata.


Apa yang dikatakan tersebut di atas bukan tanpa alasan. Permasalahan yang terjadi dalam kasus DWP pada pertengahan Desember lalu, dinilai sebagian pihak bukan hanya merusak nama institusi Polri namun juga reputasi Pemerintah maupun bangsa dan negara secara keseluruhan. Bagaimanapun tidak terelakkan bahwa apa yang dilakukan 18 oknum Polisi pada Warga Negara Malaysia tersebut merupakan hal yang sangat memalukan bagi bangsa Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan beradab. Sektor Pariwisata misalnya menjadi salah satu yang paling terdampak. Terlihat sepele, namun tingkat kepercayaan internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia yang penuh dengan citra buruk, semakin nyata menurun.


Media sosial menjadi bukti nyata bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Polri menurun atau masyarakat ragu akan keseriusan Kapolri dalam mereformasi diri dan mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat. Pada perkara atau kasus sebelumnya yang menimbulkan kegaduhan, seperti ungkapan no viral no justice atau kekerasan oleh oknum aparat, seolah tidak terdapat tindakan nyata untuk mengubah Polri. Janji-janji dan instruksi Kapolri kepada seluruh jajarannya seolah hanya sebuah gimmick atau gestur kosong untuk mengalihkan perhatian dan kemarahan masyarakat sementara. Tagline “Presisi” Polri yang mengandung makna “Strive for excellence” dan kemampuan Polri yang semakin meningkat malah banyak menjadi guyonan dan plesetan di media sosial. 


Kasus DWP tersebut harus menjadi perhatian besar kita semua. Apalagi ini mencerminkan kegagalan Polri dalam mengawasi jajarannya. Namun jika kita mendalami permasalahan yang terjadi, hal ini sebenarnya bukan hal baru. Pemerasan atau pungutan liar dalam penanganan perkara di Polri sebenarnya adalah rahasia umum. Untuk dapat memperlancar keinginan dari para pihak, diperlukan biaya atau lebih dikenal upeti atau mahar. Hal ini harus diakui merupakan hal yang sudah banyak beredar dan diketahui oleh masyarakat, terutama yang pernah terlibat dalam mafia hukum. 


Permasalahan yang terjadi pada WNA Malaysia tersebut harus diakui seringkali terjadi di lapangan. Komisi III DPR misalnya pernah menemukan permasalahan yang dilaporkan dalam penanganan kasus Narkoba. Pemakai atau pengguna Narkotika malah dibawa ke ranah proses peradilan yang berujung pada pidana penjara dan memenuhi lembaga pemasyarakatan. Usut punya usut, hal ini diduga juga lahir dari penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan oleh oknum penyidik. Jika orang tersebut tidak mampu memenuhi biaya tertentu (pungli) yang telah ditentukan, maka tersangka dapat dibawa ke ranah penegakan hukum, sebaliknya jika ada biaya tertentu maka cukup direhabilitasi atau bahkan dihentikan perkaranya. Inilah yang kemudian melahirkan maraknya mafia hukum.


Dalam kasus DWP, permasalahan yang terjadi dan viral tersebut seolah mengkonformasi dugaan-dugaan terhadap penyalahgunaan kewenangan oknum aparat penegak hukum Polri. 18 oknum Polri diduga menggunakan modus tes urine untuk kemudian menakut-nakuti 400 penonton yang merupakan WNA Malaysia tersebut, sehingga harus mengeluarkan biaya agar tidak diproses ke penegakan hukum. Biaya yag diperoleh tersebut cukup tinggi atau dilansir hingga 9 juta Ringgit atau 32 miliar Rupiah. Lebih parah lagi, ada penonton yang hasil tes urinenya negatif namun tetap harus membayar sejumlah uang. Hal ini kemudian terungkap di media sosial dan ternyata korbannya tidak hanya satu. 


Urusan penyalahgunaan Narkotika memang menjadi kekhawatiran bersama, namun soal pungli dalam penanganannya ini menjadi hal yang “Sangat Serius” untuk diberantas. Apa jadinya negara ini jika penegak hukumnya saja melanggar hukum, terlebih dilakukan pada saat melakukan fungsi penegakan hukum. Paradoks ini akan sangat memalukan citra penegakan hukum yang seharusnya adil dan kredibel. Cerminan ini akan tetap merusak reputasi seluruh Anggota Polri, termasuk mereka yang telah bekerja secara profesional.


Pihak DWP sendiri menyatakan bahwa informasi soal pemerasan ini harus dilaporkan ke Polisi. Inilah yang kemudian juga menjadi kekhawatiran atau concern dari sejumlah elemen masyarakat, yang menduga bahwa hal ini adalah upaya untuk memberikan “perlindungan” kepada oknum-oknum tersebut. Namun begitu, tentu masyarakat harus menunggu kejelasan dan sikap tegas Polri dalam menindak, baik secara pidana maupun etik. Saat ini pengaduan tersebut telah diterima dan ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya dan Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri. Aduan ini menyebabkan 18 orang oknum Polri diperiksa dan diamankan. Penanganannya telah diliput di berbagai media, sehingga diharapkan dapat dilakukan secara transparan dan profesional.


Darurat Reformasi Polri

Dorongan perubahan dan perbaikan institusi Polri kembali bergema. Rentetan catatan buruk di beberapa bulan terakhir ini perlu disikapi oleh Pemerintah, jika ingin tetap menjaga citra Pemerintah yang baik dan bersih. Berbagai kasus yang terjadi seperti penembakan polisi (baik terhadap polisi maupun sipil), backing Polri dalam penambangan ilegal, keterlibatan oknum Polri dalam Narkoba maupun tindak pidana lainnya, matinya tahanan dan berbagai permasalahan lainnya, termasuk represivitas dan arogansi oknum Polri menjadi catatan akhir tahun 2024 untuk Polri. Catatan ini tentu mengundang urgensi untuk segera mereformasi Polri. 


Persoalan yang terjadi di tubuh Polri ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Jangan sampai hanya berlalu begitu saja karena menyebabkan preseden yang buruk bagi citra Polri di masyarakat. Pemerintah dan Polri harus berkomitmen untuk meningkatkan transparansi dan profesionalitas secara terbuka dan lebih responsif. Tata kelola organisasi dan Sumber Daya Manusia Polri perlu untuk direformasi sehingga mampu menciptakan sistem yang dapat meningkatkan transparansi dan profesionalitas Polri.


Reformasi ini setidaknya harus mencakup beberapa sektor, seperti dimulai dari rekrutmen hingga pengawasan. Dalam sisi Rekrutmen, Polri harus mampu menghilangkan budaya suap seperti yang pernah terungkap di beberapa wilayah (seperti kasus Palu dan beberapa aduan di wilayah). Proses rekrutmen harus mampu memfilter para kader yang memiliki integritas dan profesionalitas tinggi, serta mampu bekerja dengan tingkat pengendalian diri (emotional intelligence) yang baik. Pengawasan dalam sistem rekrutmen dan pendidikan Polri menjadi sangat penting dalam melahirkan anggota yang bermoral dan berintegritas tinggi. 


Selanjutnya adalah tata kelola perumusan penempatan dan pengisian jabatan. Seringkali hal ini menjadi permasalahan karena sangat berdampak pada “penghasilan” tertentu atau gelap. Seolah ada wilayah-wilayah yang “basah” atau berpenghasilan besar dan ada wilayah yang kurang. Informasi ini sepertinya bukan hanya sekedar dugaan belaka karena banyak kemudian penyuapan untuk mendapatkan jabatan atau wilayah kerja tertentu. Penempatan di wilayah tertentu yang berpenghasilan besar itu bahkan seolah menjadi reward bagi Polisi berprestasi. 


Hal yang cukup mengherankan sebenarnya mengingat seorang anggota yang berprestasi tentu memiliki integritas dan kualitas yang baik dan bisa ditempatkan dimana saja. Reward seharusnya adalah promosi jabatan maupun penambahan tunjangan, bukan malah ditempatkan di tempat “idaman” yang berpenghasilan tinggi.


Hal yang paling urgen dibenahi saat ini adalah pengawasan. Berbagai Peraturan Kapolri atau peraturan polisi yang mengatur tentang Bidang Pengawasan, tidak boleh hanya menjadi aturan penegakan namun juga sebagai aturan pencegahan. Saat ini bidang propam hanya bersifat reaktif terhadap pelanggaran yang terjadi. Padahal bisa saja Propam sudah bekerja pada saat anggota bekerja. Sistem pengawasan melekat.


Bersih-bersih ini perlu dilakukan dengan kesadaran bersama oleh Polri untuk secara terbuka mengakui kelemahan-kelemahan yang ada dan merespon dengan ketegasan penuh. Artinya selain proses hukum dan etik terhadap oknum anggota yang melanggar, serta para pimpinannya sesuai dengan Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri, Polri atau Pemerintah perlu untuk meresponnya dengan tindakan perubahan yang nyata. 


Respon tersebut harus secara nyata mampu secara signifikan meningkatkan pengawasan, kesadaran dan kepatuhan hukum oleh seluruh anggota Polri, maupun penanganan kasus dan pelayanan publik yang bersih, adil, dan terpercaya. Serta hal yang terpenting adalah bagaimana Polri dapat menunjukkan komitmen untuk terbuka dan mengubah diri dari budaya arogansi, kekerasan, koruptif, dan manipulatif. Hal ini tentang membangun budaya Polri yang profesional, sederhana, dan berintegritas tinggi dalam pengayoman dan pelayanan masyarakat. Polri harus dapat mencontoh Kepolisian Hongkong atau Pemerintah RRT (Cina) dalam hal keseriusan untuk mengubah citranya dengan tindakan tegas tanpa pandang bulu terhadap pejabat maupun anggota yang melanggar atau terlibat dalam kejahatan atau suap. 


Kita semua tentu setuju bahwa kini dengan mereformasi Polri dan Sistem Kepemimpinannya merupakan hal urgen untuk upaya penyelamatan terhadap citra Pemerintah dan sektor penegakan hukum di Indonesia. Prinsip Demokrasi, sistem penegakan hukum yang bersih dan adil, serta jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia secara adil dan konsisten menjadi kunci pelaksanaan negara hukum (Arief Sidharta, 2004). Maka dalam hal ini penciptaan supremasi hukum menjadi faktor penting dan strategis. 


Penyelamatan terhadap institusi Polri harus dilakukan dengan cepat, tegas, dan menyeluruh; meskipun terasa sangat pahit. Namun seperti layaknya memberi obat dengan rasa yang pahit, tetap perlu diberikan untuk menyembuhkan penyakit. Sama halnya dengan permasalahan ini. Polri harus terbuka dan legowo untuk menerima kritik dan melakukan pembenahan terhadap seluruh sistem tata kelola maupun para pejabat dan jajarannya (tata kelola organisasi) untuk dapat menghadirkan anggota Polri yang berintegritas dan kredibel dalam menjalankan tugas dan fungsi Polri. Polri juga perlu untuk terbuka kepada perubahan terhadap sistem yang selama ini telah berjalan di seluruh fungsi, agar menjadi Polri yang lebih efektif, bersih, dan dapat diakses oleh masyarakat. 


Polri harus berbenah dan melakukan bersih-bersih karena Polri menjadi salah satu indikator utama citra Pemerintah di mata masyarakat Indonesia maupun global. Perlu dikedepankan prinsip bahwa Polri menjadi simbol utama pelayanan masyarakat dan cerminan keberhasilan Pemerintah dalam perlindungan, pelayanan masyarakat, dan tentunya penegakan hukum. Maka jika Polri gagal dalam melaksanakan fungsinya dengan profesional, akuntabel, dan berintegritas; hal ini menjadi cerminan utama Pemerintah Indonesia di mata internasional. Sebaliknya, jika Polri menjadi bersih, integritas sistem pemerintahan dan kredibilitasnya akan meningkat.


Kredibilitas dan kualitas penegakan hukum atau sistem hukum tentu menjadi indikator fundamental dalam mengukur keberhasilan negara hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. Kita kini benar-benar berharap akan “Pembenahan” terhadap sektor hukum secara serius oleh Pemerintah dan tentunya Polri sehingga dapat menciptakan negara yang aman, adil, makmur, dan sejahtera sesuai cita-cita dan tujuan bangsa dan negara.


Kategori : News


Editor      : AHS

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama