Opini oleh: DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H.
(Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan)
Pada 20 Oktober 2024, Presiden terpilih Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029. Peristiwa ini selalu menjadi buah bibir masyarakat, terutama dalam hal bagaimana sistem kepemimpinan ke depannya. Para pemerhati politik dan kebijakan menantikan, memprediksi dan bahkan mulai meramal dan menganalisa rencana strategis dan arah kebijakan politik Presiden di berbagai bidang, khususnya di bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Hakim Asasi Manusia (HAM). Janji-janji atau rencana Presiden-Wakil Presiden selama kampanye dan di berbagai kesempatan, untuk memperbaiki sistem hukum dan kebijakan yang dapat mendorong keadilan dan kesejahteraan sosial tentu akan menjadi parameter penentuan rencana kerja dan capaiannya. Presiden terpilih akan kembali mengemban dengan tugas Konstitusi, dimana Indonesia adalah negara hukum atau menganut supremasi hukum.
Melihat dari situasi saat ini, rencana Presiden untuk mereformasi bidang Hukum, HAM, dan Keamanan menjadi salah satu topik menarik bagi kaum pengkaji ilmiah. Beredar informasi yang menyatakan bahwa Presiden, yang akan memberlakukan strategi zaken kabinet, ingin membagi atau memperluas Kementerian di bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam). Kabar yang ada menerangkan bahwa Polhukam akan terbagi lagi menjadi Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan serta Kementerian Koordinator Hukum dan HAM. Hal ini menimbulkan banyak opini, namun tentu akan menjadi salah satu hal yang menarik untuk ditunggu.
Komitmen tersebut memperlihatkan adanya upaya Presiden yang salah satu fokus utamanya adalah untuk mereformasi bidang hukum dan penegakan HAM. Boleh jadi ini merupakan hasil kajian evaluatif dari Tim Presiden-Wakil Presiden terhadap kinerja Pemerintah sebelumnya yang dinilai masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah di bidang hukum atau permasalahan-permasalahan strategis yang belum mampu dipecahkan atau diselesaikan di masa Pemerintahan sebelumnya.
Oleh sebab itu, banyak kajian dan opini dari masyarakat dan para pemerhati hukum yang mulai mereka-reka atau menerka apa yang nantinya akan menjadi politik kebijakan strategis Pemerintah di bidang Hukum. Beberapa permasalahan yang timbul dalam citra penegakan hukum di masa Pemerintah sebelumnya, seperti misalnya: isu Politisasi Hukum, Stagnasi Program Pemberantasan Korupsi, inkonsistensi penegakan hukum dan penerapan reformasi kultur Sumber Daya Manusia, sistem penegakan hukum yang belum mencerminkan Keadilan sosial dan Kepastian Hukum, serta berbagai permasalahan klasik yang masih terus menerus terjadi. Permasalahan tersebut seperti isu diskriminasi dan lambannya sensitivitas penegakan hukum, over-kriminalisasi (terutama kebebasan berpendapat), represivitas dan arogansi aparat, penyalahgunaan Narkoba, pungutan liar di sejumlah area, kekerasan seksual, dan kejahatan terorganisir.
Namun begitu, terdapat pula beberapa program dan kebijakan hukum yang dapat dikatakan berhasil atau efektif serta memberikan dampak positif pada masyarakat. Kelebihan tersebut seperti meningkatnya kecepatan dalam sistem penanganan perkara hukum dan berbagai layanan publik seperti Imigrasi, Hakim Kekayaan Intelektual, atau layanan lalu lintas. Selain itu, meningkatnya keterbukaan terhadap media, digitalisasi tugas dan fungsi, patroli di ruang siber, menurunnya angka terorisme, perhatian besar pada penanganandan penyelesaian kasus HAM, pembangunan infrastruktur hukum di sejumlah wilayah, penanganan terhadap kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat (viral), peningkatan fokus pada optimalisasi pendapatan negara, penerapan kebijakan Restorative Justice, dan sejumlah kebijakan, termasuk untuk bersikap tegas pada oknum yang menyimpang.
Outlook Bidang Hukum, Keadilan, dan Keamanan 2024-2029
Dari sejumlah informasi, Presiden tampaknya juga akan memilih untuk berfokus pada berbagai area hukum dan HAM. Kementerian Hukum akan berdiri sendiri, demikian pula Kementerian HAM, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Tanpa bermaksud mendahului, namun kebijakan ini tentu memiliki benefit dan kerugian masing-masing. Sebagai contoh, pembagian fokus area ini akan membuat kementerian bekerja lebih fokus dan memiliki kewenangan lebih, namun di satu sisi juga menimbulkan risiko penyalahgunaan kewenangan dan kurangnya sumber daya pendukung. Beban anggaran meningkat, namun tepat guna sasaran mungkin akan jauh lebih baik dalam arti capaian kinerja yang lebih optimal.
Apapun politik hukum yang nantinya akan diambil oleh Presiden dan pemerintahannya, arah kebijakan strategis dan reformasi hukum harus berpedoman pada aturan perundang-undangan (supremasi hukum), prinsip keadilan sosial, dan rencana jangka panjang dan fundamental (berkesinambungan). Permasalahan-permasalahan yang masih terus menerus terjadi harus segera dihilangkan atau setidaknya diminimalisir. Prestasi yang telah dicapai atau kebijakan yang efektif harus dipertahankan, dioptimalisasi, atau ditingkatkan. Modernisasi sistem hukum tentu masih jadi agenda utama.
Menanti Peran Presiden
Kepemimpinan atau peran Presiden sangat dinantikan masyarakat luas untuk membenahi sistem dan supremasi hukum yang selama ini kurang berkembang. Berdasarkan Konstitusi, Indonesia menganut sistem presidensiil yang mana Presiden sebagai Kepala Pemerintahan bertanggungjawab atas jalannya pemerintahan termasuk dalam menciptakan sistem keamanan dan sistem hukum yang memadai. Hal ini perlu untuk kita tekankan karena peran Presiden seolah sangat terbatas ketika berhadapan dengan permasalahan di bidang hukum. Presiden memang tidak boleh cawe-cawe, namun peran Presiden sangat vital ketikan permasalahan dalam lingkup kabinetnya terjadi.
Peran dan kepemimpinan Presiden harus muncul di saat nantinya Kementerian atau Lembaga Hukum pada perjalanannya menjadi kurang efektif, loyo, atau malah justru menyimpang. Presiden harus bertindak tegas terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terlihat tidak dapat diselesaikan oleh suatu lembaga atau badan. Presiden harus turun tangan ketika ada sebuah fenomena penegakan hukum yang diskriminatif dan menyiksa rakyat. Presiden tidak boleh pandang bulu atau harus equal dalam menciptakan supremasi hukum. Aturan atau kebijakan untuk mereformasi kultur dan pengawasan sumber daya manusia harus tegas dan implementatif. Aturan ini juga berlaku terhadap Presiden dan kabinetnya, termasuk juga keluarga dan kerabatnya. Tidak boleh lagi ada isu atau permasalahan hukum atau pelanggaran hukum dan etika di lingkaran Presiden maupun kekuasaan manapun. Konflik kepentingan juga harus dihindari sejauh mungkin. Isu-isu di bidang hukum harus dapat segera diatasi dan dipertanggungjawabkan kepada publik secara terang-benderang.
Presiden juga diharapkan mampu menjawab keraguan masyarakat akan terciptanya mimpi bangunan sistem penegakan hukum yang benar-benar mandiri, adil, pasti, dan berkemanfaatan. Pada periode yang lalu, isu pemanfaatan atau politisasi hukum untuk kepentingan tertentu sangat besar dan membuat citra penegakan hukum yang kurang berpihak pada rakyat. Isu ini masih menjadi permasalahan utama, karena aparat seolah menjadi alat pemerintah dan dihadapkan dengan masyarakat (menjadi musuh masyarakat). Presiden dianggap menggunakan sistem penegakan hukum untuk kepentingan politisnya dalam sejumlah peristiwa hukum.
Perhatian pada Sumber Daya Manusia (SDM) seperti kesejahteraan Hakim, Jaksa, Polisi, dan aparatur terkait lainnya masih menjadi salah satu prioritas perhatian Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan keamanan, disamping menutup celah pungutan liar yang selama ini menjadi pendapatan lebih dari sejumlah oknum. Maka, Presiden, keluarga, kabinet dan keluarganya harus dipastikan bersih dan patuh kepada hukum (clean and clear), khususnya di saat masih menjabat. Presiden harus bebas dari isu politisasi, kriminalisasi, dan berbagai intervensi di sistem peradilan dan penegakan hukum.
Selain itu dalam sisi kebijakan dan implementasinya, penerapan transformasi dan modernisasi sistem penegakan hukum dan keadilan harus memiliki masterplan atau peta jalan, khususnya untuk memecahkan persoalan-persoalan utama seperti overcrowding atau over-stay di LP, over-kriminalisasi, celah mafia hukum, penegakan hukum yang komprehensif. Demikian pula menyelesaikan permasalahan dalam menciptakan atau meningkatkan kapabilitas institusi, tata regulasi, sinergisitas dan kolaborasi antar-institusi, dan akuntabilitas publik yang tinggi dan terpercaya.
Semoga wacana politik perluasan ini tidak menjadi sia-sia atau hanya untuk bagi-bagi jabatan, namun lebih pada membangun kekuatan besar untuk berfokus pada pencapaian target dalam peran dan fungsi institusi hukum. Dalam hal apapun, peran dan Kepemimpinan Presiden menjadi salah satu kunci utama dalam menentukan citra dan arah sistem hukum dan keadilan di negeri ini. Penerapan prinsip-prinsip dalam good governance, restorative justice, independensi, transparansi, dan kredibilitas/akuntabilitas institusional masih menjadi agenda utama.
Masyarakat tentu berharap agar sistem hukum kita benar-benar independen atau merdeka dan mampu untuk menjadi andalan dan meningkatkan kepuasan dan kepercayaan publik. Sistem penegakan hukum dan peradilan yang kredibel dan berkepastian menjadi kunci pembangunan nasional dan pendukung stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat di segala bidang.
Kategori : News
Editor : ARS
Posting Komentar