Redefinisi Dukungan Keluarga pada Ibu Menyusui

Setiap menjelang akhir tahun, masyarakat dunia memperingati pekan Air Susu Ibu (ASI) Sedunia atau World Breasfeeding Week. ASI tidak bisa dilihat hanya sekedar makanan atau minuman, namun juga merupakan sumber penyelamat kehidupan. 



Berdasarkan data UNICEF, setiap tahun 25.000 bayi di Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat tumbuh dengan selamat karena pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018), terdapat beberapa manfaat ASI, yakni gizi guna menunjang perkembangan fisik serta kecerdasan, melindungi bayi dari alergi, dan bayi menjadi tidak sering sakit.


Melihat manfaat dari ASI tersebut, maka pemberian ASI eksklusif di Indonesia wajib diberikan hingga usia bayi enam bulan. Hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 450 tahun 2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan target ASI eksklusif ini antara lain dukungan sosial dari lingkungan terdekat. Pihak yang dianggap sebagai orang terdekat dari ibu tidak lain adalah pasangan yang dalam hal ini adalah suami (Rempel, Rempel & Moore, 2017).


Menyusui memang merupakan kewajiban seorang ibu, namun penelitian menunjukkan bahwa ayah bayi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keputusan seorang ibu dalam menyusui (Yanti, 2020). Ibu yang suaminya aktif mendukung akan lebih berhasil dalam menyusui bayi. Pengaruh suami yang dianggap sebagai faktor keberhasilan menyusui dapat berupa dukungan finansial, emosional dan fisik.


Budaya patriaki yang cenderung mengakar di Indonesia membentuk konsepsi bahwa pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ibu. Hal ini termasuk juga konsep pemberian ASI eksklusif kepada balita. Ayah cenderung menjadi liyan dalam tugas pemenuhan kebutuhan ASI bagi anak. 


Hal ini berangkat karena simplifikasi keliru yang meyakini bahwa secara kodrat, perempuan memiliki tugas untuk memberikan ASI kepada anak. Krol dan Grossmann (2022) menegaskan bahwa dukungan pada ibu menyusui akan memberikan efek psikologis positif bagi ibu dalam program menyusui.


Meskipun partisipasi dan perhatian laki-laki untuk mendukung ASI eksklusif mulai naik, akan tetapi berdasarkan data, diketahui bahwa 50 – 70% perempuan mengalami baby blues atau post-natal syndrome yang terjadi di awal proses menyusui (Janiwarty dan Pieter, 2013). Permasalah ini bisa berujung pada keputusan untuk berhenti memberikan ASI eksklusif dan beralih pada pemberian susu formula. 


Hal ini semakin menjadi keniscayaan di tengah masih adanya soft promotion produk susu formula bagi balita oleh oknum tenaga kesehatan. Berdasarkan fakta tersebut, maka peningkatan kesadaran seorang ayah untuk memberikan dukungan finansial, fisik dan emosional kepada ibu menyusui menjadi aspek yang sangat krusial.


Berdasarkan beberapa riset terdahulu, dukungan suami sering diukur menggunakan dimensi dukungan keluarga yang dikembangkan oleh Friedman (2010). Dimensi tersebut adalah dukungan informasional, penilaian, emosional dan instrumental. 


Ada juga penelitian lain yang berfokus pada komponen dukungan suami yang dikembangkan Rempel & Rempel (2011) yang terdiri dari pengetahuan, bantuan, apresiasi, kehadiran dan responsitas. Sayangnya, hampir sebagian besar riset tersebut belum memberikan gambaran yang kokret tentang bentuk dukungan suami. Riset yang dilakukan akademisi di Indonesia lebih banyak yang menggunakan metode kuantitatif, sehingga bentuk dukungan hanya terukur atas variabel yang sudah ditentukan peneliti. Informasi mendalam tentang kualitas dan faktor pembentuk dukungan suami, bisa dibilang masih belum cukup memadai. 


Sebagian besar riset yang dilakukan di Indonesia menyimpulkan bahwa terdapat hubungan dan pengaruh antara dukungan suami kepada ibu terhadap pemberian ASI eksklusif. Terlepas dari hasil yang positif, riset-riset tersebut belum memberikan gambaran yang mendalam dan holistik tentang kualitas dukungan, yang salah satunya dapat dilihat dari kacamata komunikasi interpersonal. 


Konsep ini mengandaikan bahwa setiap orang, khususnya ibu yang baru menyusui, akan melakukan komunikasi yang kontinu dengan dunia di sekitarnya. Dari hasil komunikasi tersebut, kemungkinan akan memunculkan impresi dari orang terdekat, salah satunya adalah suami.


Seseorang melakukan komunikasi interpersonal karena ada motif kesenangan, afeksi, inklusi, pelarian, relaksasi dan kontrol (Frisby & Martin, 2010). Motif komunikasi interpersonal dengan orang terdekat kemudian akan membentuk perilaku seorang ibu untuk memutuskan akan memberikan ASI eksklusif atau tidak. 


Komunikasi interpersonal yang kompleks dengan suami, baik verbal maupun nonverbal akan akan membentuk pertukaran pesan relasional yang bertujuan untuk membentuk pemahaman bersama guna tercapainya tujuan pasangan suami istri. Proses komunikasi yang terjadi sangat mungkin mengarah pada dua hal, yaitu munculnya kebingungan dan rasa frustasi pada satu waktu, ataupun kepuasan pada interaksi sehari-hari. 


Smith & Wilson (2012) juga menegaskan bahwa sebuah relasi tertentu akan berdampak pada perasaan semua pihak yang terlibat dalam aktivitas komunikasi. Interpretasi dan respons kita pada perilaku tertentu akan mengalami perubahan berdasarkan bentuk relasi dua pihak yang terlibat pada interaksi. 


Sebagai contoh, jika salah satu anggota keluarga melukai perasaan anggota keluarga yang lain, maka rasa sakit hatinya akan lebih perih jika dibandingkan dilukai oleh orang lain yang tidak dekat dengan kita. Hal inilah yang menjadi poin penting bagi pasangan suami istri dalam bertukar pesan dan perasaan di fase pemberian ASI eksklusif pada si buah hati. 


Potret atas kedalaman komunikasi interpersonal pasangan suami istri dalam proses pemberian ASI eksklusif kurang tergambarkan dalam beberapa riset. Sebagian besar riset mengambil responden dari pihak ibu yang bisa jadi juga bias dalam melakukan pengisian kuesioner penelitian karena adanya faktor budaya, kebiasaan, bentuk komunikasi dengan suami dan keluarga terdekat lainnya. Kondisi tersebut sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada validitas jawaban responden.


Rendahnya bukti riset ilmiah terkait keluasan dan kedalaman dukungan suami dan keluarga terdekat pada ibu menyusui tentu tidak bisa disimpulkan bahwa mereka nirempati. Kondisi ini perlu dilihat dari berbagai sudut pandang. Memang benar jika aspek budaya menjadi salah satu faktor dalam rendahnya dukungan suami pada ibu menyusui. 


Meskipun demikian, pihak suami dan keluarga terdekat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Perlu dipahami bahwa fasilitas kesehatan pemerintah kurang memberikan perhatian pada program dukungan pemberian ASI oleh ibu. Seperti diketahui, layanan kesehatan dari puskesmas memiliki kelompok kader kesehatan di tingkat kelurahan, desa atau pedukuhan. Kader kesehatan ini biasanya diberi wewenang untuk mengelola program Posyandu. 


Posyandu sebenarnya sudah memiliki konsep yang baik, namun praktik di lapangan bisa dikatakan jauh dari ideal. Terkadang posyandu hanya menjadi formalitas untuk mengukur pertumbuhan dan perkembangan balita secara kuantitatif melalui pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar kepala dan lain sebagainya. Dukungan yang diberikan lebih banyak bersifat informasional tanpa pendekatan person centered communication yang berlandaskan komunikasi interpersonal. 


Jika dukungan dari layanan kesehatan primer dan sekunder kepada ibu saja bisa dikatakan belum cukup, maka bisa dibayangkan bagaimana minusnya perhatian pemerintah dalam menginisiasi program spesifik bagi ayah dan keluarga terdekat demi suksesnya pemberian ASI eksklusif oleh ibu.


Aktivitas posyandu juga cenderung diasosiasikan sebagai kegiatan kader kesehatan bersama para ibu. Sangat jarang ada keterlibatan dari ayah dalam program tersebut. Jika ayah terlibat, seringkali hanya sebatas mengantar istri tanpa keterlibatan untuk mengetahui perkembangan si bayi pada program posyandu tersebut. 


Selain itu, bisa dilihat juga bahwa program sosialisasi, penyuluhan, pelatihan dan sebagainya sangat jarang ditujukan kepada ayah atau calon ayah. Berkaca pada kondisi tersebut, maka tidak heran jika dukungan ayah menjadi ala kadarnya, sejauh usaha pencarian informasi yang dilakukan masing-masing individu.


Melihat kondisi tersebut, maka perlu ada keterlibatan berbagai pihak, khususnya akademisi dalam melakukan riset mendalam terkait aspek komunikasi interpersonal yang dilakukan dalam keluarga, khususnya ayah dan ibu semenjak proses kehamilan, persalinan dan post-natal. Dukungan bukan hanya ditunjukkan dengan kata-kata verbal, namun juga perlu diikuti dengan tindakan dan perilaku yang relevan. 


Dukungan dari orang terdekat, khususnya suami akan membantu seorang ibu untuk menerima dirinya sebagai seorang ibu menyusui. Seorang perempuan akan sangat mengandalkan komunikasi dengan orang terdekat untuk membantu dirinya melakukan integrasi identitas, peran dan kebiasaan baru sebagai seorang ibu. 


Hasil riset tersebut akan bisa digunakan oleh pemerintah, lembaga nonprofit, akademisi, tenaga kesehatan dan lainnya untuk menyusun program sedemikian rupa guna menjawab permasalahan pemberian ASI eksklusif. Program tersebut diharapkan bukan hanya berfokus pada si ibu, namun juga pada suami dan anggota keluarga terdekat lainnya. 


Program Ayah ASI yang sudah diinisasi oleh beberapa kelompok bisa menjadi awalan untuk perluasan capaian di masa mendatang. Hal ini karena dukungan komunikasi interpersonal yang suportif dari suami akan membantu seorang ibu untuk tidak memedulikan non-supportive communication dari orang lain, sehingga si ibu akan semakin mantap memberikan ASI eksklusif kepada si buah hati.



Penulis : Pupung Arifin

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama