FSGI: Ehipassiko School BSD Diduga Langgar Permendikbudristek dan UU Perlindungan Anak

TANGERANG, suarapembaharuan.com - Ehipassiko School BSD diduga melanggar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan (PPKSP).



Hal itu dikatakan Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti setelah menerima kronologis kejadian tertulis dari berita sebelumnya. Salah satu murid bernama NCW yang duduk di kelas 7 atau 1 SMP dikeluarkan atau dipecat secara sepihak dari sekolah tersebut.


Ia menyayangkan penyelesaian kasus ini tidak melibatkan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK). Berdasarkan data pokok pendidikan (Dapodik), surat keputusan (SK) pengangkatan Tim PPK ini terdiri dari perwakilan orangtua dan perwakilan guru. SK-nya ditandatangani oleh kepala sekolah dan wajib hasilnya untuk diunggah ke Dapodik Kemendikbudristek.


"Kalau sekolah ini memiliki Tim PPK, kenapa bukan mereka yang melakukan penanganan ini secara profesional karena di dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 ada cara menangani anak-anak atau murid yang dianggap, misalnya melanggar atau melakukan kekerasan," tegasnya kepada wartawan Kamis (8/8/2024). 


Disebutkan, dalam hal ini Tim PPK harus menerima dahulu pengaduan, meminta keterangan dari pihak yang mengadu. Setelah itu, baru dipanggil pihak yang diduga atau terlapor untuk dimintai keterangan dan dikonfirmasi dari keterangan-keterangan si terlapor.


"Yang sangat penting untuk diingat, bahwa selama proses pemeriksaan anak-anak harus didampingi oleh orangtua, tetapi ternyata tidak. Dan kalau memang benar anak itu dikurung dalam ruang guru dari pukul 07.00 hingga 14.00 WIB ini juga bentuk pelanggaran dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak," ungkapnya.


Retno menguraikan bahwa perlakuan sekolahan tidak hanya melanggar Permendikbudristek Nomor 46 terkait kekerasan psikis (mental) saja, bukan pemukulan, tetapi kepada psikologis si murid. Dengan berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa selama berjam-jam diperlakukan seperti demikian dalam ruangan guru, itu adalah bentuk pelanggaran juga oleh pihak sekolah ini.


"Jadi sekolah jelas melakukan kekerasan psikis. Dan ini juga melanggar UU Perlindungan Anak. Seharusnya, kalaupun si anak menjadi pelaku, penanganan murid bukan atau tidak seperti itu yang telah dilakukan pihak sekolah," tegasnya kembali.


"Seharusnya, pertama penyelesaiannya oleh Tim PPK. Kalau ternyata Tim PPK atau pihak sekolah keliru dalam penanganan, maka bisa melapor ke Tim Satuan Tugas (Satgas) Daerah (pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota), karena sudah dibentuk Tim Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan," tambah Retno.


Selanjutnya, Dinas Pendidikan juga terlibat di dalam Tim PPK ini bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dinas Pendidikan inilah yang menjadi bakal _leading sector_ -nya. Jadi diselesaikan terlebih dahulu di level ini. 


"Lalu bisa meminta Tim Satgas Daerah memeriksa sekolah atau Tim PPK karena dianggap keliru misalnya dalam penanganan sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No.46 itu ada di pasal 69. Nah dari situ maka proses pemeriksaan Tim PPK yang disini maupun pihak sekolah itu bisa dilakukan pemrosesan oleh Tim Satgas," urai Retno.


Ini dikarenakan, Ehipassiko School BSD merupakan sekolah yang berada dibawah Kemendikbudristek yang wajib patuh pada aturan Permendikbudristek Tahun 2023. 


"Jadi saya menghimbau untuk Dinas Pendidikan setempat segera bertindak dan turunkan pengawasnya juga, walaupun ini sekolah swasta. Anda (Dinas pendidikan) adalah pengawas yang melakukan pembinaan harus dilakukan kepada pihak sekolah," ucap dia.  


Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini juga menyarankan agar orangtua dari si korban NCW, Felix Sinaga bisa melaporkan masalah ini ke Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek. Retno juga mendorong pihak Kemendikbudristek untuk turun gunung mengatasi kasus ini. 


"Terakhir, hak murid atas pendidikan itu harus dipenuhi dan didalam inin terdapat adanya pelanggaran dalam konstitusi kita di pasal 31. Jadi Dinas Pendidikan yang harus bertanggung jawab mencarikan sekolah si anak tersebut," tegas dia.


Ia berharap dan mendorong Felix Sinaga memberikan laporan juga ke Kemendikbudristek untuk bertindak memantau ke daerah. Sementara untuk Dinas Pendidikan ini, memang harus memenuhi hak atas pendidikan si anak yang nantinya bisa didorong oleh Kemendikbudristek.


Diberitakan sebelumnya, bermula dari ribut di aplikasi WhatsApp (WA) antara kedua siswa yang bersekolah di Ehipassiko School di BSD Tangerang Selatan (Tangsel), salah satu murid bernama NCW yang duduk di kelas 7 atau 1 SMP dipersekusi dan dikeluarkan atau dipecat secara sepihak dari sekolah tersebut.


Bahkan sebelumnya perempuan 11 tahun tersebut tidak diizinkan masuk ke kelas untuk menerima pembelajaran atau hak pendidikannya sebagai siswi.


Ayah dari NCW, Felix Sinaga mengatakan, Ehipassiko School telah melakukan persekusi atau semena-mena dan menjadikan buah hatinya sebagai korban kebijakan serta kesewenang-wenangan otoritas kepala sekolah.


Sementara pihak sekolah Ehipassiko School BSD di Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, menyangkal adanya peristiwa persekusi terhadap peserta didik di sekolah tesebut. Terkait masalah ini, pihak sekolah telah melakukan kajian lebih lanjut dan melakukan mediasi terhadap kedua peserta didik tersebut sesuai dengan prosedur.


Kategori : News


Editor      : AHS

1 Komentar

  1. Anak anak adalah masa depan bangsa..tolong sekolah menghargai privasi anak anak..tolong dengarkan penjelasan anak..dan pembelaan terhadap dirinya..walaupun ia belum sehebat kita para orang tua dalam berbicara

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama