JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ratusan korban pembeli unit rumah susun (rusun) Ambassade Residences mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menghadiri sidang terkait pengelolaan rusun Ambassade tersebut pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Jety, Kepala Koordinator Perjuangan Korban Pengembang Rusun Ambassade Residences PT Duta Regency Karunia (DRK) mengatakan sebanyak 236 pemilik dari 239 unit menjadi korban kelalaian pengembang dan pengelola yang diduga disengaja karena sudah hampir sepuluh tahun lamanya tidak menyerahkan pengelolaan kepada pemilik dengan mengabaikan pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah (P3SRS).
Hal itu adalah pengelolaan yang sah menurut Undang-Undang Rumah Susun dimana pengembang hanya mempunyai waktu satu hingga dua tahun sejak serah terima di tahun 2013 untuk menyerahkan pengelolaan.
"Saat ini Direktur Utama Teddy Tjokrosaputro dari PT Duta Regency Karunia (DRK) sebagai pengelola apartemen sudah menjadi terpidana tipikor sejak tahun 2022 dalam kasus Asabri. Serah terima pertama kali adalah di tahun 2013. Sejak mendekam di penjara, tidak ada yang bertanggung jawab untuk pengelolaan Rusun Ambassade Residences termasuk iuran dana," katanya.
Sebelumnya, pihaknya sudah menyambangi kantor Wali Kota Jakarta Selatan dan menuntut pembentukan dan pengesahan Pokja (kelompok kerja) dari pengelolaan apartemen Ambassade tersebut. Ia menegeaskan pengelolaan tersebut membutuhkan biaya untuk perawatan karena selama ini rusun telah ditelantarkan dan menjadi rusak karena tak ada ada pertanggungjawaban dari DRK sebagai pengembang.
"Maka kami menuntut segera instansi pemerintah membentuk pengelolaan yang sah agar masalah ini dapat terselesaikan segera," tegasnya.
Kuasa Hukum Paguyuban Ambassade Residences (PAR), Ibrani Datuk Rajo Tianso menjelaskan para korban dari pengembang DRK belum mendapatkan hak Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHMSRS) dari developer meski pernah dijanjikan tahun 2016 akan keluar. Namun hingga saat ini sertifikat induk tidak pernah dipecah dan dikhawatirkan para pemilik unit.
Disamping itu, pengembang juga tidak bertanggung jawab kepada para pemilik karena tidak pernah ada laporan keuangan dan pertanggungjawaban kepada para pemilik mengenai dana pengelolaan, serta tidak mengurus izin-izin gedung yang mestinya diurus.
Berdasarkan hukum vide pasal 74 dan 75 juncto Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Rumah Susun No. 20 Tahun 2011, pemilik sarusun wajib membentuk P3SRS dimana hak pengelolaan itu wajib diserahkan oleh Pengembang kepada pada perhimpunan pemilik satu tahun sejak serah terima. Namun sejak Pengembang tidak kunjung membentuk P3SRS sampai tahun 2022, hingga akhirnya menjadi Terpidana, maka di dalam keadaan darurat dan demi keberlangsungan gedung rumah susun tersebut, mayoritas pemilik yang berhimpun dalam suatu wadah yang dinamakan Paguyuban Ambassade Residences (PAR).
PAR sebagai wadah aspirasi para pemilik yang menjadi korban kelalaian pengembang/ DRK, telah mencoba menyampaikan kepada Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) melalui surat dari tahun 2016 untuk membantu pembentukan P3SRS, namun sampai bulan Maret 2024 tidak menanggapi keluhan dan surat mayoritas pemilik yang bergabung dalam PAR.
Sugianto sebagai Ketua Paguyuban Ambassade Residences menuturkan mayoritas pemilik unit yang tergabung berharap kerjasama Dinas Perumahan Rakyat untuk segera membentuk P3SRS, tetapi hal itu bukanlah alasan untuk seorang pemilik unit menunda pembayaran IPL bertahun-tahun karena dalam satu hunian bersama, beban biaya perawatan harus dipikul bersama-sama.
Pada dasarnya PAR hanya Pengelola sementara dalam keadaan darurat sebelum P3SRS terbentuk. PAR dibawah Sugianto selaku ketua menginformasikan bahwa sudah berakhir kontraknya pada tanggal 01 Agustus 2024, dan sekarang digantikan oleh PT Mulia Multi Manajemen selaku Pengelola Ambassade Residences untuk meneruskan pengelolaan. “Siapapun pengelolanya, mayoritas yang menentukan”.
Walaupun pada akhirnya di bulan July 2023 Teddy menunjuk ibu Jumiah selaku Penerima Kuasa Pengelolaan, namun ibu Jumiah tidak mempunyai pengalaman pengelola dan membiarkan karyawan-karyawan tanpa legal standing alias gelap, menyelewengkan dana iuran pengelolaan dan tanpa laporan keuangan.
Disebutkan ada sebuah penthouse sebagai unit yang terbesar dan bergengsi di Apartemen Ambassade Residences dengan total luas mencapai 1000 M2. Diduga penthouse tersebut tidak pernah membayar IPL kepada pengelola sejak tahun 2014, dimana Tahir yang mengaku pemiliknya tidak pernah datang untuk menengok unitnya yang tidak dirawat selama 10 tahun lamanya.
Saat ini tagihan abodemen IPL sudah mencapai milyaran rupiah, dimana mayoritas pemilik yang sudah menunjuk pengelola seyogyanya kan menuntut keadilan dimana setiap pemilik wajib membayar IPL tidak terkecuali, sekarang justru digugat oleh unit terbesar yang seharusnya lebih prihatin memikirkan pertanggungjawaban keberlangsungan hunian Ambassade Residences.
Pengelola dan para pemilik akan mengajukan tuntutan balik dengan segala konsekuensi hukumnya terhadap siapapun yang tidak mematuhi tatib hunian seperti ketaatan membayar IPL, agar setiap pemilik termasuk Tahir melaksanakan kewajibannya kalau benar sebagai pemilik Penthouse di Rusun Ambassade Residences.
"Menurut hukum pemilik unit siapapun orangnya wajib membayar IPL kepada pengelola siapapun pengelolaannya, apakah dikelola oleh developer maupun oleh pemilik atau siapapun yang mengelola gedung tersebut karena IPL adalah hak gedung yang dikelola oleh pengelola untuk keberlangsungan gedung," ungkap dia.
Saat ini Rusun Ambassade Residences yang dalam keadaan pengelolaan darurat dan beresiko tinggi sudah berkoordinasi dengan Suku Dinas Perumahan Jakarta Selatan, Dinas Perumahan Rakyat dan Walikota Jakarta Selatan untuk membentuk Kelompok Kerja yaitu pengelolaan sementara menurut Peraturan Gubernur No. 133 Tahun 2019 Pasal 25 (a) dimana ketika Pengembang tidak dapat memfasilitasi pembentukan P3SRS, maka Pokja wajib melakukan proses pembentukan P3SRS.
Mayoritas menyayangkan kinerja para instansi pemerintah dalam UU Rumah Susun yang bertanggung jawab memfasilitasi pembentukan pengelolaan yang sah menurut hukum yaitu P3SRS secara cepat, namun pada faktanya terjadi penundaan yang berkepanjangan untuk pengesahan Pokja, sehingga pertanggungjawaban gedung rusun Ambassade yang terbengkalai dapat merugikan semua pihak terutama para penghuni, pemilik dan juga negara karena pajak-pajak yang tidak dibayar oleh semua pihak yang mengaku pemilik.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar