JAKARTA, suarapembaharuan.com - Kasus kredit macet yang dialami BUMN yang berada di bawah Kementerian Keuangan, PT Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Eximbank) membuktikan, selain kualitas pengawasan yang masih bermasalah, juga perlu diprioritaskan integrasi pengelolaan BUMN berada di satu pintu.
Pengamat Ekonomi UI, Toto Pranoto. Ist |
Terlebih paska LPEI membukukan kredit macet (non-performing loan) gross yang mencapai 43,5% atau Rp32,1 triliun dari pinjaman yang disalurkan Rp73,8 triliun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) malah mengajukan penyertaan modal negara (PMN) Rp10 triliun untuk LPEI yang bermasalah itu. Hal itu terungkap ketika Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Rionald Silaban pada Rapat Kerja Kemenkeu dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (1/7) meminta kucuran modal untuk membiayai penugasan khusus ekspor (PKE) kepada LPEI untuk peningkatan dari kapasitas 8 PKE dan juga penambahan 4 PKE baru.
Pengamat Ekonomi UI, Toto Pranoto menilai keberadaan BUMN yang masih berada di Kementeriaan Teknis menunjukkan hal yang anomali.
"Apalagi pembentukan BUMN di bawah Kementrian Keuangan ,seperti PT SMI atau PT PII , dibuat pada saat sudah ada lembaga Kementrian BUMN. Apa ada alasan khusus seperti itu?" ujar Toto saat dihubungi di jakarta, Selasa (2/7).
Ia menilai, ada kemungkinan Kemenkeu ingin fokus dan kendalikan BUMN baru yang bergerak di bidang keuangan di bawah kendalinya. "Karena sejatinya Kemenkeu adalah pemegang saham BUMN , sementara KBUMN adalah kuasa pemegang saham BUMN, yang juga berarti sebagai pihak yang diberi mandat oleh UU mewakili Kemenkeu dalam kelola BUMN."
Mengaca dari kasus kredit macet di PT LPEI, Toto menganggap hal itu tak ubahnya kasus-kasus fraud lainnya yang sempat menerpa di beberapa BUMN. "Hal itu menunjukkan bahwa kualitas pengawasan masih bermasalah. Artinya dewan pengawas yang mewakili owner yaitu Kemenkeu juga dianggap kurang kompeten dalam bekerja," tambahnya.
Atas dasar itulah, Toto menekankan agar integrasi pengelolaan BUMN di bawah satu atap harus menjadi prioritas yang harus dikerjakan.
"Ada banyak manfaat. Pertama, koordinasi untuk mendapatkan sinergi yang optimal agar dijalankan dengan lebih baik. Kedua, pola pembinaan dan pengawasan BUMN bisa dalam satu SOP sehingga penilaian dan monitoring kinerja bisa lebih terkelola dengan baik," jelasnya.
Kembal ke kasus LPEI, menurut Riyani Tirtoso, Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI, memburuknya kualitas kredit di lembaga yang dipimpin terjadi sebelum 2018. "Penyebabnya sebagian besar pemberian kredit merupakan over financing," kata Riyani di Komisi XI DPR RI, Senin (1/7/2024). Menurut dia, selain pemberian kredit yang menyalahi kemampuan debitur, LPEI juga tidak memiliki infrastruktur maupun sistem yang memberi peringatan dini akan kualitas kredit debitur. Termasuk tidak adanya unit yang khusus menangani kredit macet.
Dia menjelaskan atas kondisi ini, kualitas kredit Indonesia Eximbank mengalami pemburukan. Perinciannya, pada 2018 kredit yang diberikan mencapai Rp108,9 triliun namun kredit macet alias NPL sebesar Rp14,9 triliun. Selanjutnya, pada 2019 meningkat menjadi NPL Rp22,9 triliun sedangkan kredit yang diberikan Rp97,8 triliun.
Pada 2020, kondisinya makin sulit dengan kredit Rp90,4 triliun dan NPL Rp23,6 triliun. Periode 2021, nilai kredit tersisa Rp84 triliun serta NPL Rp17,7 triliun. Sedangkan pada 2022, kredit yang diberikan Rp83,4 triliun dan NPL mencapai Rp22,3 triliun. Puncaknya pada 2023, NPL Gross mencapai 43,5% dengan rincian kredit yang diberikan Rp73,8 triliun dengan NPL Rp32,1 triliun.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar