JAKARTA, suarapembaharuan.com - Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Prabowo-Gibran bersama para praktisi hukum dan akademisi menggelar talkshow yang bertemakan Putusan DKPP dan Penguatan Legitimasi Pemilu 2024' di Kantor Sekretariat Repnas, Jakarta, Jumat (8/2/2024).
Selain Ketum Repnas, Anggawira, hadir sejumlah narasumber, yakni Direktur Eksekutif Indigo Network/Dosen Fakultas Hukum Trisakti, Radian Syam; Peneliti Indigo Network Mahendra Adinegara; Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (Ildes) Rizaldy Juhaidy; dan Senior Associate Integrity Law Firm Muhamad Raziv Barokah.
Talkshow tersebut dilakukan merupakan respons terhadap isu yang bergulir mengenai putusan DKPP menyoal pelanggaran etik ketua KPU. Ketua umum Repnas Anggawira mengatakan pihaknya mengharapkan pemilu kali ini menghasilkan legitimasi yang jelas terhadap pemenang pilpres dan kepastian dunia usaha.
“Kita mengharapkan Pemilu kali ini menghasilkan legitimasi yang jelas untuk presiden yang menang nantinya, sehingga kita sebagai pelaku usaha juga mendapatkan kepastian hukum yang jelas, dan kita bisa fokus untuk mengurus pertumbuhan ekonomi," ujar Anggawira.
Anggawira juga menambahkan bahwa Pilpres merupakan momentum pesta rakyat yang harus memberikan kebahagiaan kepada masyarakat.
“Kita harapkan setelah pemilu tidak melahirkan beban kepada pemenang dan melahirkan kebencian, kita harus legowo dan memastikan bahwa pemenang pemilu merupakan kehendak dari rakyat," imbuh Anggawira.
Sementara Direktur Eksekutif Indigo Network/Dosen Fakultas Hukum Trisakti, Radian Syam menegaskan bahwa putusan DKPP ini memperkuat posisi Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Tindakan yang dilakukan oleh KPU ini merupakan buntut dari putusan 90 itu, sehingga KPU sudah tepat menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan calon wakil presiden, malah justru tidak ada kepastian hukum apabila putusan 90 itu tidak dijalankan oleh KPU," ujar Radian Syam.
Pendapat tersebut diafirmasi oleh Peneliti Indigo Network Mahendra Adinegara bahwa, putusan etik ini tidak melanggar hukum, sehingga putusan 90 tetap sah dijalankan.
“Saya melihat jika ada gugatan yang diajukan ke PTUN mengenai putusan DKPP ini hanya sandiwara semata, kemudian dalam konstitusi negara kita, pelanggaran etik tidak berpengaruh terhadap putusan hukum, kecuali putusan hukum sudah pasti bertentangan dengan etik," jelas Mahendra.
Muncul pandangan yang berbeda dari praktisi hukum Raziv Barokah selaku senior Associate INTEGRITY law firm.
“Kami sejak awal telah mempersoalkan ketua MK sebagai orang yang mengadili perkara Gibran, kami menilai perkara tersebut problematik dan ada konflik kepentingan, namun tidak mendapatkan tanggapan, sehingga ketika keluar putusan MK 90 kita diperhadapkan dengan Kepastian hukum, padahal sebenarnya kami sejak awal sudah mempermasalahkan perkara tersebut, pada akhirnya kepastian hukum yang dihadirkan oleh putusan 90 melahirkan simpang siur.” terang Raziv.
Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (Ildes) Rizaldy Juhaidy memberikan tanggapan berbeda. Rizaldy memberikan pendapat bahwa, putusan etik ini diakibatkan tidak adanya payung hukum yang komprehensif mengenai pengaturan etik di Indonesia.
"Ini mengharuskan adanya terobosan baru dalam pembuatan payung hukum yang mengatur soal etik," pungkas Rizaldy.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar