JAKARTA, suarapembaharuan.com - Proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang merekayasa hukum sehingga berdampak pada pemecatan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan pemberian sanksi kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari adalah bukti kuat bahwa Pemilu 2024 dikendalikan oleh penguasa, atau dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Gibran Rakabuming Raka. Ist |
Ancaman perpecahan di tengah-tengah masyarakat sangat terbuka, apabila pelanggaran etik yang dilakukan cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka tetap dipertahankan.
Pemerhati Sosial Politik, Surya Fermana mengatakan, dalam hati rakyat Indonesia sesungguhnya gelisah bahkan gusar melihat apa yang telah dilakukan Jokowi dalam upayanya membangun dinasti politik. Rakyat, kata dia, meyakini pasti bahwa proses Pemilu 2024 ini merupakan akal-akalan dari rezim Jokowi.
Surya Fermana mengingatkan bahwa apabila akal-akalan tersebut tetap dibiarkan, akan menjadi energi untuk memantik perlawanan dari rakyat. Semakin diteruskan, semakin membentang pula kemarahan masyarakat selaku penjaga demokrasi.
“Kalau hati nurani rakyat melihat, pasti merasa ini akal-akalan. Dan ini akan terus menjadi energi untuk memantik perlawanan. Makin diterusin makin membentang kemarahan,” kata Surya Fermana dalam Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.
Mantan Aktivis Pergerakan ini menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk potensi perpecahan di tengah-tengah masyarakat tidak terjadi yaitu Presiden Jokowi menghentikan segala bentuk intervensi atau cawek-cawek. Demikian pula dengan pasangan Prabowo-Gibran yang juga harus mundur dari pencalonan.
“Untuk menghentikan semua akibat-akibat yang tidak mau ditanggung semua. Jokowi harus menghentikan dari segala bentuk cawe-cawe atau Paslon 02 yang harus mundur dari kontestasi ini," tuturnya.
Surya mengungkapkan, apabila Jokowi, Prabowo-Gibran meneruskan pencalonannya kemudian menang Pilpres 2024, mereka hanya akan menjadi beban untuk bangsa Indonesia. Tak hanya itu, Giban ketika menjadi wakil presiden ke depan, tidak memiliki legitimasi bahkan cacat moral.
“Legitimasinya tidak ada, bahkan moral orangnya, ini akal-akalan. Akan menjadi beban buat bangsa kita. Jangan hanya bilang kalau gak suka kepada kami jangan memilih, tidak hanya itu,” ucapnya.
Lebih dari itu, kata Surya, bila Prabowo-Gibran terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 kerusuhan lebih dari tahun 1998 saat massa menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden RI. Surya menilai, apa yang dilakukan Jokowi lebih parah dibandingkan dengan Soeharto. Soeharto, lanjut Surya, mulai menunjukan dinasti politiknya di akhir-akhir jabatan, sementara Jokowi sejak awal-awal berkuasa.
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang. Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024.
“Padahal kita tahu bahwa demokrasi itu ya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya itu jauh dari semangat penguasa saat ini,” ujarnya.
Melalui diskusi bersama kelompok pemuda dan mahasiswa, Sutisna ingin mendorong agar ikhtiar menjaga demokrasi terus dilakukan. Baginya, akal sehat dan idealisme harus terus dipertahankan agar kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh praktik KKN, yang mulai terlihat di negeri ini.
“Kita akan terus berdiskusi mengkritisi yang salah dari perjalanan demorkasi kita,” pungkasnya.
Diketahui, Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda menghadirkan Pemerhati Sosial Politik Surya Fermana, Akademisi UIN Sunan Kalijaga El Guyanie dan Aktivis 98 Prijo Warsono sebagai narasumber. Hadir pula puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta dalam diskusi tersebut.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar