JAKARTA, suarapembaharuan.com - Koalisi Reformasi untuk Sektor Keamanan dan Koalisi Kawal Pemilu Demokratis 2024 (selanjutnya Koalisi) menyayangkan adanya dugaan aksi represif terhadap konsolidasi aksi mahasiswa Jakarta di Kampus Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Sabtu (3/2/2024) malam. Koalisi pun meminta DPR dan Komnas HAM agar mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengungkapkan ke publik pelaku dan motif dari dugaan tindakan represif mahasiswa tersebut.
"Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar DPR dan Komnas HAM harus desak Kapolri agar segera memproses hukum pelaku sampai ke akar-akarnya dalam waktu 1x24 jam, termasuk dalang/aktor intelektualnya secara transparan dan akuntabel," ujar perwakilan Koalisi dari Peneliti Imparsial Hussein Ahmad dalam keterangannya, Minggu (4/2/2024).
Berdasarkan informasi Koalisi, konsolidasi mahasiswa Jakarta yang diadakan di dalam Kampus Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Sabtu (3/2/2024), sekitar pukul 23.06 WIB tiba-tiba didatangi oleh segerombolan orang tidak dikenal dengan berpakaian preman. Tanpa menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, mereka memaksa mahasiswa keluar dari kampus sembari mengancam supaya mahasiswa tidak membahas wacana aksi demonstrasi yang mendorong pemakzulan presiden. Tak hanya itu, bahkan ada 1 orang mahasiswa yang mengalami kekerasan berupa ditanduk di bagian kepalanya.
"Koalisi menilai, peristiwa ini bukan sekadar tindakan kriminal/premanisme biasa. Represi terhadap konsolidasi mahasiswa yang membahas wacana pemakzulan presiden ini harus dipandang sebagai tindakan yang sarat muatan kepentingan kekuasaan. Bahkan kuat dugaan bahwa tindakan ini didalangi atau setidak-tidaknya direstui oleh pihak yang berkepentingan," tandas Hussein.
Dalam berbagai peristiwa, kata Hussein, represi yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain justru terbukti bukan sekadar konflik horizontal semata, irisan secara langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan kekuasaan sangat kental. Dikatakan, pengalaman pahit pasca jajak pendapat di Timor-Timur dan Konflik Ambon menunjukkan bahwa negara memiliki kemampuan merepresi warga untuk kepentingan tertentu. Ironisnya, dibungkus dengan selubung konflik horizontal.
"Untuk itu, koalisi berpendapat, pertama, isu pemakzulan presiden merupakan wacana yang secara organik lahir sebagai respons publik terhadap sejumlah kegaduhan, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meratakan jalan bagi anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto," ungkap Hussein.
Dalam konteks tersebut, kata Hussein, patut diduga kuat, relasi nepotisme kekeluargaan dan serangkaian pelanggaran etik eks Ketua MK menjadi faktor bagi mulusnya jalan Gibran menuju kontestasi Pilpres 2024. Apalagi, kata dia, berbagai tindak tanduk presiden beserta jajaran di bawah yang cenderung berpihak kepada salah satu pasangan calon juga memperkuat wacana pemakzulan.
"Oleh karenanya, menjadi wajar apabila isu pemakzulan ini mencuat di ruang publik. Terlebih, berbagai sivitas akademika di berbagai perguruan tinggi di Indonesia ramai-ramai mengkritik buruknya demokrasi di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo," tegas Hussein.
Kedua, Koalisi menilai peristiwa dugaan represif konsolidasi mahasiswa menunjukkan bahwa represi terhadap ekspresi, terutama ekspresi politik warga semakin meningkat jelang perhelatan Pilpres 2024. Dia mencontohkan rentetan peristiwa yang menimbulkan prasangka ketidaknetralan negara, antara lain, kriminalisasi terhadap Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono, intimidasi pentas teater Butet Kertaredjasa, hingga beringasnya anggota TNI di Boyolali, Jawa Tengah terhadap Relawan Ganjar-Mahfud, dugaan Intimidasi kepada perusahaan mobil untuk kampanye Ganjar Mahfud dan Anies Muhaimin.
"Ketiga, aparat penegak hukum, khususnya Polri, seharusnya proaktif menanggapi peristiwa ini dengan melakukan pengusutan. Polri harus mampu mengungkap kasus ini bukan hanya di level pelaku lapangan, seluruh pihak yang mendalangi atau menjadi aktor intelektual juga harus diungkap dan diproses hukum," ungkap Hussein.
Lebih lanjut, Hussein mengatakan sikap proaktif polri menjadi penting di tengah melemahnya kepercayaan publik kepada negara, termasuk di dalamnya Polri. Menurut dia, metidakmampuan atau bahkan keengganan Polri dalam mengungkap represi ini hanya akan memperkuat dugaan bahwa Polri merupakan bagian dari mata rantai instrumen politik yang digunakan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.
"Jadi, sekali lagi kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar DPR dan Komnas HAM harus desak Kapolri agar segera memproses hukum pelaku sampai ke akar-akarnya dalam waktu 1x24 jam, termasuk dalang/aktor intelektualnya secara transparan dan akuntabel serta mendesak Bawaslu RI, sesuai tugas dan kewenangannya memeriksa segala bentuk dugaan keberpihakan alat-alat perlengkapan negara dalam kontestasi Pilpres 2024," pungkas Hussein.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar