JAKARTA, suarapembaharuan.com - Proses demokrasi dalam Pilpres 2024 masih menyisakan kekhawatiran yang mendalam bagi sejumlah kalangan, terutama bagi aktivis demokrasi dan akademisi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang memuluskan jalan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden 2024 dinilai telah mencederai nilai demokrasi serta jauh dari semangat reformasi.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Ist |
Akademisi sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, proses demokrasi yang terjadi di Indonesia beberapa bulan terakhir menjadi sorotan media asing, karena adanya upaya membangun dinasti politik Jokowi melalui proses gugatan tentang batas usia pencalonan presiden dan calon wakil presiden di MK.
Menurut dia, beberapa media asing menyebut bahwa majunya Gibran sebagai cawapres yang dilalui dengan merubah konstitusi di MK termasuk nepotisme politik.
Hal ini disampaikan Bivitri saat menjadi narasumber di diskusi daring yang digelar Forum Intelektual Muda yang bertajuk "Menyikapi Media Asing yang Soroti Dinasti Politik di Pilpres 2024: Jokowi di Ujung Tanduk?", Jumat (19/1/2024) malam.
Dalam kesempatan itu, Bivitri menegaskan bahwa nepotisme sangat berbahaya untuk nasib bangsa Indonesia ke depan karena mengancam demokrasi. Nepotisme merupakan akar dari korupsi sehingga harus dihentikan.
“Nepotisme itu akar korupsi dan tentu saja investor asing, pemerintah asing yang selama ini memberikan bantuan ke Indonesia mulai ngukur, bahkan ragu untuk berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Ia bercerita bahwa dirinya termasuk orang yang melaporkan Anwar Usman untuk diproses secara etik. Sayangnya, Anwar Usman hanya diberhentikan dari jabatannya, sementara status kehakimannya masih. Dia juga menyebut bahwa dalam proses itu, pihaknya merasa kesulitan sebab sistem hukum di Indonesia telah disandera oleh aktor politik yang memainkan konstitusi.
“Kami kesulitan karena sistem hukumnya sudah di kooptasi,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, apa yang terjadi saat ini berpotensi membuat demokrasi di Indonesia cacat. Dia melihat potensi kecurangan dalam konteks Pemilu 2024 sudah disorot sejak proses pendaftaran partai politik.
“Teman-teman pasti tahu beritanya, bahwa partai ini seharusnya tidak lolos, tapi kemudian oleh KPU diloloskan, ada kan rekaman juga,” ucap dia.
Setelah masalah parpol, muncul lagi persoalan Peraturan KPU yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi seperti keterwakilan perempuan. Perludem sempat melaporkan hal ini ke Bawaslu dan DKPP dan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, tidak ada hasil yang memuaskan.
“Jadi permohonan kami dikabulkan terdapat pelanggaran administrasi pemilu, tapi menguap saja tidak ditindaklanjuti,” pungkasnya.
Turut hadir juga sebagai narasumber, Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti dan Airlangga Pribadi Kusman.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar