JAKARTA, suarapembaharuan.com - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang lanjutan perkara dugaan pelanggaran kode etik Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Gibran Rakabuming Raka. Ist |
KPU dituntut karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) RI pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Persidangan yang digelar di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Senin (15/1) ini beragendakan pemeriksaan saksi ahli.
Sebagai teradu, yaitu tujuh komisioner KPU RI. Rinciannya yaitu Ketua KPU Hasyim Asyi’ari, Anggota KPU Betty Epsilon Idroos, Mochammad Affifudin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.
Selain itu, turut hadir di ruang sidang pejabat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, yakni Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, dan anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty.
Sebagaimana diketahui, seluruh komisioner KPU RI diadukan ke DKPP oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri Tim Pembela Demokrasi 2.0 (TPDI 2.0), Kamis (16/11).
Pengadu meminta agar DKPP memberhentikan semua Komisioner KPU RI karena dianggap telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, lantaran menerima pendaftaran dan menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
"Kami menduga seluruh komisioner KPU periode 2022 - 2027 tidak adil, tidak akuntabel, tidak berkepastian hukum, tidak tertib, tidak proporsional, dan tidak profesional," kata eks aktivis Petrus Hariyanto yang menjadi salah satu perwakilan TPDI 2.0, dalam keterangan tertulis.
Pihaknya menilai KPU telah melanggar prinsip jujur, adil, dan berkepastian hukum. Sebab, pada 25 Oktober 2023, KPU telah menerima berkas pendaftaran pencalonan Gibran.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun.
KPU baru mengubah persyaratan pada 3 November 2023 untuk memasukkan amar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal kepala daerah bisa maju pilpres sebelum 40 tahun.
TPDI 2.0 menilai, aturan itu seharusnya baru diberlakukan untuk Pilpres 2029.
"Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan (notoire de feiten) bahwa KPU sebelumnya selalu mengubah Peraturan KPU setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi. Ini dalam hukum, disebut asas pelaksanaan putusan," kata Koordinator TPDI 2.0, Patra M. Zen, dalam keterangan yang sama.
Ia mencontohkan, MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 norma tentang warga yang belum mendapat e-KTP dapat menggunakan surat rekam e-KTP untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara.
Amar putusan MK ini baru dapat dilaksanakan (dieksekusi) setelah KPU menerbitkan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Contoh lain, MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-X/2017 memutuskan semua orang yang punya hak pilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dengan menggunakan KTP atau Kartu Keluarga (KK).
Amar putusan dalam Perkara Nomor 85/PUU-X/2017 ini baru berlaku setelah KPU menerbitkan aturan baru. Dari 2 contoh tersebut, menurut mereka, dapat disimpulkan Putusan MK tidak berlaku secara serta merta sebagai pedoman KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.
"Mengapa terjadi perbedaan perlakuan terhadap Gibran? Apa karena dia anak Presiden?" tanya Patra.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar