JAKARTA, suarapembaharuan.com - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengungkapkan penggunaan instrument politik, hukum dan kekuasaan sudah mulai tampak sejak awal ketika ada wacana penundaan pemilu, narasi tiga periode presiden, dan terakhir Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melapangkan jalan bagi anaknya Gibran Raka Buming Raka untuk maju dalam Pilpres 2024 mendatang.
“Kita memang sebagai anak muda perlu khawatir bahwa Presiden akan menggunakan kewenangan aparaturnya hingga kemudian sumber daya untuk memenangkan anaknnya dengan Pak Prabowo pada Pilpres 2024,” jelas Neni pada acara diskusi public Indonesian Youth Conggres, Jum’at (26/01/2024) siang melalui aplikasi zoom meeting.
Menurut Neni, potensi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan itu, mulai penguatan pengaruh, mobilisasi kekuatan, abuse of power in election dengan menggunakan instrument negara untuk kepentingan partai politik itu sudah terjadi.
Bahkan, jelas Neni, kalau kita berbicara soal netralitas Presiden dan Menteri, pemilu kita harus jujur dan adil, itu hanya sekedar angan-angan saja. Ilusi dan penuh keraguan.
“Presiden memang berhak untuk politik, tapi kemudian kan tidak diperbolehkan berkampanye. Untuk apa, untuk menjaga prinsip pemilu itu sendiri. Netralitas aparat negara itu menjadi kunci untuk bagaimana terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang free and fair election,” jelas Neni.
Kemudian, kata Neni, menyikapi pernyataan presiden yang mengatakan boleh berkampanye seperti pasal 281 UU Pemilu yang tidak boleh menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, kemudian menjalani cuti seperti pada hari ini kata KPU bahwa cuti presiden hanya kepada Presiden sendiri. Tetapi siapa yang kemudian menjamin bahwa tidak ada penggunaan fasilitas negara disitu?
“Saya bukan meragukannya lagi, tetapi pada hari pak Presiden Jokowi pada hari ini memang tidak bisa berlaku netral,” ujar Neni.
Neni mengatakan, tafsir pasal 281, 282, dan 283 tentang kampanye pejabat negara harus kontekstual. Bukan tekstualis, minimalis dan legal formalistic. Sehingga kita bisa mendapatkan perspektif yang kemudian itu komprehensif.
“UU Pemilu harus kita akui bahwa banyak kelemahan. Karena itu juga menjadi bagian akibat dari proses legislasinya itu penuh dengan kepentingan politik. Di mana semestinya pejabat negara tidak diperkenankan untuk berkampanye. Sejak awal, dari UU nya bermasalah dan mengandung otoritarianism legalizm,” jelas Neni.
Neni menegaskan, politik dinasti, cawe-cawe dan praktik politik tanpa malu itu, tentu merusak demokrasi. Selain itu, public hanya berharap adannya pendekatan dan penegakan hukum yang progresif.
Perlu diketahui, kegiatan diskusi public ini dengan menghadirkan narsum Pakar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, Pengamat Politik Universitas Nasional Robi Nurhadi, dan Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati. Adapun peserta diskusi seperti organisasi mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan masyarakat luas.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar