JAKARTA, suarapembaharuan.com - Center for Indonesia’s Strategic Development Initative (CISDI) mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memberlakukan pajak sebesar 10 persen atas rokok elektrik mulai 1 Januari 2024. Penerapan pajak pada rokok elektrik ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.
Olivia Herlinda |
Kepala Riset & Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, berpandangan bahwa penerbitan aturan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam upaya mengendalikan konsumsi rokok elektrik. Terkhusus karena aturan ini juga menetapkan kenaikan tarif cukai rokok elektrik sebesar 15 persen tiap tahunnya hingga 2027 mendatang.
"Kami sangat mendukung dan mengapresiasi langkah tersebut. Pengenaan pajak menunjukkan komitmen pemerintah, terutama kalau kita lihat kenaikan tarif cukai juga 15% tiap tahun hingga 2027," ucap Olivia saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis (4/1/2024).
Survei yang dilakukan CISDI pada 2021 menunjukkan bahwa biaya pengobatan yang dibayar masyarakat akibat mengonsumsi rokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun.
"Di 2021, biaya pengobatan akibat mengonsumsi rokok yang ditanggung pemerintah lewat BPJS Kesehatan sebesar Rp10,5 triliun hingga Rp15,6 triliun," kata Olivia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat lantaran jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia terus bertambah.
Survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021 melaporkan ada kenaikan signifikan pada jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia. Dari hanya 0,3 persen di 2011, menjadi 3 persen atau setara 6,2 juta pengguna di 2021.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menurut Olivia, juga menyoroti merebaknya konsumsi rokok elektrik di kalangan masyarakat. Data WHO menunjukkan mayoritas pengguna rokok elektrik berasal dari kalangan ekonomi menengah dan didominasi kelompok remaja pada rentang usia 13 tahun hingga 15 tahun.
"Karena itu ada _call to action_ dari WHO yang memang meminta pemerintah untuk bisa mengambil tindakan yang cukup tegas untuk mengendalikan rokok elektrik ini," tutur Olivia.
*Dampak Negatif Rokok Elektrik*
Olivia menjelaskan, pengendalian konsumsi rokok elektrik juga mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat secara luas. Studi yang dilakukan World Health Organization (WHO), The Centers For Disease Control and Prevention (CDC) America, dan The American Lung Association (ALA) menunjukkan bahaya rokok elektrik berasal dari kandungan nikotin dan zat beracun lainnya yang bisa berdampak bagi pengguna maupun non-pengguna.
Beberapa dampak buruk rokok elektrik di antaranya, membuat gangguan otak pada anak dan remaja, meningkatkan risiko penyakit jantung, memengaruhi kondisi janin, dan gangguan paru-paru. Rokok elektrik yang mengandung nikotin juga menyebabkan dampak adiktif.
"Ini sudah menjadi bukti yang cukup untuk bisa memberlakukan kebijakan yang memang lebih ketat untuk rokok elektrik, atau bahkan untuk nantinya melarang peredaran rokok elektrik," beber Olivia.
Namun, Olivia meyakini pengenaan tarif pajak sebesar 10 persen dan cukai 15 persen belum akan berdampak signifikan untuk menekan pengendalian konsumsi rokok elektrik. Musababnya, secara empirik, pengguna rokok elektrik ini kebanyakan di kelompok ekonomi menengah dan menengah ke atas.
"Sebenarnya, apakah kenaikan tersebut sudah cukup elastis dan bisa mempengaruhi konsumsi? Nampaknya belum."
"Untuk bisa mengendalikan konsumsi secara signifikan dibutuhkan kenaikan yang lebih tinggi, lebih optimal, untuk bisa menurunkan keterjangkauan dan juga di sisi lain kita harus punya kebijakan yang bisa mengiringi kebijakan fiskal ini," pungkas Olivia.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar