YOGYAKARTA, suarapembaharuan.com - Kelompok aktivis Sorowajan Memanggil Gerak 98, kini menggelar diskusi, beberapa penampilan dan bedah Buku Hitam Prabowo Subianto, Sejarah Kelam Reformasi 98. Bedah buku itu dilangsungkan di Kopi Genk Jl. Sorowajan Baru, Tegal Tanda, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Jum’at (22/12) sore.
Keynote Speaker Menurut Buya Azhar sekaligu penulis Buku Hitam Prabowo Subianto, mengatakan buku ini sebagai pengingat dan harapan agar kasus-kasus pelanggaran HAM, terkhusus yang melibatkan Prabowo tidak terulang kembali.
Pelanggaran HAM adalah soal serius dalaml kehidupan berbangsa dan bernegara, karena bertalian dengan hak asasi warga untuk bisa hidup aman, terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, represi, termasuk penculikan yang pernah menjadi bagian dari sejarah kelam reformasi 98,” ujar aktivis Gerak 98 itu.
Buku tersebut terdiri dari tujuh bab. Bagian awal buku ini mengulas penculikan aktivis, kerusuhan Mei 1998, dan bagaimana dugaan keterlibatan serta upaya Prabowo melakukan kudeta terhadap Presiden B.J Habibie serta jejak kelamnya di Timor Leste dan Papua.
Dia menuturkan rekam jejak sangat penting agar khalayak dapat mempertimbangkan lalu menentukan pilihannya secara sadar.
"Sebagai aktivis 98, kami dihadapkan oleh panggilan kesejarahan saat masa transisi (reformasi), dan membangun masa depan, yang tentu saja kami semua tidak ingin kembali ke masa Soeharto silam. Dan ini penting diketahui oleh semua pihak serta tak lupa pula untuk turut mengawal penuntasan 12 kasus HAM berat lainnya," tutur dia.
Dia menjelaskan keterlibatan Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti penculikan aktivis, kerap dituding sebagai isapan jempol semata atau kaset rusak yang diputar menjelang pemilihan presiden.
Klaim semacam itu, kata dia, muncul oleh sebab belum adanya proses hukum untuk Prabowo, kendati bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatannya amat jelas.
“Selain keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang merekomendasikan pemberhentiannya, Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mei 1998 juga mendesak agar ia dibawa ke Peradilan Militer. Bahkan, yang sulit terbantahkan adalah pengakuan Prabowo sendiri bahwa ia memang menculik para aktivis,” katanya.
Buku ini juga mengelaborasi mengapa Prabowo menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia dan apa yang sedang dipertaruhkan jika ia menjadi presiden.
Widihasto mengatakan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) hingga saat ini masih menjadi salah satu hutang besar pemerintahan presiden Joko Widodo. Pada periode pertama hingga periode kedua pemerintahannya, Presiden berjanji dalam Nawacita akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang selalu menjadi beban sejarah bagi bangsa Indonesia. Namun, komitmen presiden Jokowi dalam menyelesaikan janji tersebut tidak direalisasikan hingga kepemimpinan berakhir.
Gugun el Guyani juga menegaskan bahwa dalam demokrasi khususnya setiap menjelang Pemilu 2024, Indonesia sebagai negara hukum yang didasarkan pada rule of law dengan demokrasi dan HAM sebagai pilar-pilarnya harus dipertahankan. Dengan demikian, warga negara, termasuk masyarakat adat dan agama leluhur, dapat terjaga dari kesewenang-wenangan penguasa. “Kita tidak bisa meninggalkan nilai-nilai, pengetahuan, dan kearifan yang ada di masyarakat,” pungkasnya.
Zuhud senada dengan pemateri sebelumnya mengatakan bahwa Jelang tahun politik, suhunya sudah mulai terasa saat ini. Banyak elit politik yang sudah mengambil langkah jelang pilpres maupun pilkada yang akan dilaksanakan beberapa tahun lagi. Tak heran jika situasi ini sedikit banyak menciptakan dinamika tersendiri di tengah masyarakat. Kondisi ini tentu hal yang wajar di tengah proses demokrasi yang sedang tumbuh dan bekembang di tanah air. Oleh karena itu pers sebagai salah satu pilar demokrasi di tanah air memiliki peran penting dalam menjaga dinamika politik tetap berjalan dengan baik tidak keluar dari koridor yang sudah ditentukan.
Hal ini sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tegas menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, pungkasnya.
Sutisna pun juga mengatakan, elit politik hari ini memenuhi karakteristik elit yang disebut ilmuwan politik Pareto (1968) sebagai elit dengan karakter rubah dan lion, yakni elit yang inovatif, spekulatif, dan skeptis. Berbeda dengan rezim sebelumnya yang cenderung menekankan pada stabilitas dan keseimbangan, elit politik hari ini memiliki kecenderungan untuk mengabaikan suara publik. Beliau juga menyoal tantangan demokrasi hari ini, yakni bagaimana menghadapi elitelit politik yang mampu melakukan rekayasa persetujuan tanpa harus menciptakan instrumen kekerasan seperti di era Orde Baru.
Diakhir kegiatan aktivis Sorowajan Memanggil sedikit menyakatakan sikap terhadap demokrasi yang sudah berjalan selama dua periode di masa kepemimpinan Jokowi, yang langsung dikomandoi Roja’ membacakan ikrar Bersama, sebagai berikut ;
Kami Sorowajan Memanggil
1. Sorowajan merupakan pusat dari ruang dialektika dan gerakan mahasiswa yang ada di Jogja khususnya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
2. Dari hasil pembacaan dan dialektika mahasiswa kami menilai bahwa demokrasi diera Joko Widodo dinodai untuk kepentingan segelintir orang.
3. Kami Mahasiswa siap untuk terus mengobarkan Sorowajan sebagai pusat konsolidasi gerakan dan dialektika progresif dalam mengawal kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
4. Selalu setia mengawal gerakan mahasiswa dan rakyat dalam menuntaskan kasus Hak Asasi Masa Lalu dan upaya pembungkaman suara masyarakat sipil.
5. Selalu menjaga integritas aktivisme dengan tidak menjual idealisme untuk kepentingan pragmatis yang mengesampingkan kepentingan HAM dan menindas rakyat.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar