JAKARTA, suarapembaharuan.com - Peneliti Politik Senior BRIN, Prof Lili Romli mengatakan, usulan perubahan format debat Pemilu Presiden (Pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan pelanggaran. Wacana perubahan ini memperkuat kecurigaan publik kuatnya intervensi terhadap penyelenggara pemilu.
Prof Lili Romli. Ist |
Untuk itulah, ia sangat menyayangkan perubahan format debat Capres-Cawapres kali ini. Semakin memperkuat opini adanya intervensi. “Sangat disayangkan, jika KPU tetap mau merubah format debat. Lebih jauh, publik bisa beropini bahwa perubahan format debat karena ada intervensi,” jelas Prof Lili di Jakarta, Senin (4/12).
“Sebab dalam Peraturan KPU, disebutkan ada 5 kali debat, yang terdiri atas 3 kali debat capres dan 2 kali debat cawapres.Jika bunyi aturannya seperti itu, mestinya format debat mengacu pada PKPU tersebut. Jika tidak mengacu pada aturan tersebut, bisa masuk kategori pelanggaran karena sedang menabrak atau menyimpang dari aturan yang sudah dibuat,“ ujarnya.
Anehnya, meski tahu pelanggaran, namun KPU masih tetap melakukannya dengan berbagai alasan. Rasanya KPU sadar akan resikonya. “Saya kira nanti jika tetap dilanggar, bisa ada yang melaporkannya ke Bawaslu bahwa KPU tidak tunduk pada aturan yang ada,” sebut Prof Lili.
Menurut Lili, aturan debat di PKPU dibuat bukan tanpa alasan. Format debat yang lama lebih bermanfaat bagi masyarakat mendengar kemampuan para calon.
“Sesungguhnya jika format debat yang sudah ada dalam PKPU tersebut, di mana ada debat capres dan cawapres, publik akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang komprehensif tentang kemampuan atau kompetensi baik itu kompetensi capres maupun cawapresnya,“ jelas Prof Lili.
Sekarang dengan tidak dipisahnya, publik tidak akan tahu sejauh mana kompetensi dari masing pasangan. “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kerap waktunya habis dijawab oleh capresnya, sementara cawapres tidak mempunyai kesempatan yang luas, karena waktunya sudah mau habis. Baru mo jawab, tiba-tiba bel berbunyi yang menandakan waktu habis,” ungkap Prof Lili.
*Dengarkan Publik*
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai format ideal debat capres-cawapres patutnya melibatkan 3 pihak yakni koalisi partai pendukung, calon presiden dan calon wakil presiden, serta masyarakat.
"Harus dibicarakan dengan ketiga koalisi, ketiga capres-cawapres. Lalu juga harus mengikuti aspirasi atau saran dari publik, dari masyarakat, agar tidak menjadi polemik dan tidak kontroversial," terangnya.
Selain itu, penting agar debat tersebut juga berkeadilan. "Yang penting berkeadilan, mengikuti aspirasi capres-cawapres, dan aspirasi serta keinginan masyarakat," tambahnya.
Ujang tidak mempermasalahkan format yang digunakan dalam debat. Menurutnya, tidak ada yang baku dalam format debat. Yang penting, aspirasi masyarakat harus diakomodir KPU.
"Kalau soal format tergantung dari kebutuhan, sejatinya bagaimana debat itu capres-cawapres bisa memberikan atau menyampaikan visi-misi program, ide dan gagasan terbaik. Baik capres dan cawapres harus diberikan kesempatan yang sama," tegasnya.
Sebelumnya, KPU telah menetapkan bahwa debat capres digelar tiga kali dan debat cawapres akan digelar dua kali. Dalam setiap gelarannya, setiap pasangan capres-cawapres harus hadir. Format ini berbeda dengan Pilpres 2019, debat Capres-Cawapres digelar dengan komposisi berbeda. Yaitu 1 kali debat khusus Cawapres tanpa dihadiri Capres. Lalu 2 kali khusus debat Capres, dan 2 kali dihadiri Capres-Cawapres.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, format itu diubah dengan maksud supaya pemilih dapat melihat sejauh mana kerja sama masing-masing capres-cawapres bahu-membahu satu sama lain dalam penampilan debat. "Sehingga, kemudian supaya publik makin yakin lah teamwork (kerja sama) antara capres dan cawapres dalam penampilan di debat," ujar Hasyim.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar