JAKARTA, suarapembaharuan.com - Hingga saat ini, inisiatif lumbung pangan dunia yang dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Ilustrasi |
Meskipun merupakan salah satu Program Strategis Nasional tahun 2020–2024, program ini dinilai banyak pihak gagal. Faktanya, para ahli menyatakan bahwa konsep lumbung pangan bersifat jangka panjang dan tidak bisa dicapai dengan cepat.
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menegaskan, seluruh lahan yang dimanfaatkan untuk inisiatif ini berada di luar Pulau Jawa. Akibatnya, wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki kesuburan lebih dibandingkan lahan pertanian di Pulau Jawa. Oleh karena itu, mustahil mencapai hasil yang baik dalam satu atau dua tahun.
“Yang perlu diperhatikan, sebagian besar food estate yang dibangun di luar (Jawa) itu adalah lahan bukaan baru. Lahan bukaan baru pasti butuh waktu, butuh proses untuk membuat lahan itu bisa berproduksi stabil. Misalnya sawah, kita membangun ekosistem sawah yang stabil butuh waktu 3-4 tahun, apalagi kalau bukaan baru yang asalnya hutan terus dikonversi menjadi lahan usaha tani pasti butuh waktu lebih lama lagi,” jelasnya pada 9 Juli 2023.
Berbagai inisiatif penyimpanan pangan telah dimulai oleh pemerintah dan tersebar di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sayangnya, meskipun inisiatif-inisiatif ini baru dimulai pada masa pemerintahan Jokowi, beberapa di antaranya mengalami kegagalan panen atau bahkan terhenti.
Khudori juga menkritik pemerintah karena terburu-buru menetapkan target program lumbung pangan. Ia pun menyadari pertimbangan politik turut berperan dalam kegagalan program lumbung pangan dunia. Menurut penilaian Khudori, Indonesia yang hanya mengganti masa kepemimpinannya setiap lima tahun menyebabkan tidak adanya kesinambungan dan konsistensi.
Namun demikian, ia sependapat dengan pemerintah bahwa inisiatif lumbung pangan sangat penting untuk meletakkan dasar yang kokoh bagi ketahanan pangan nasional, terutama mengingat konversi lahan pertanian yang sedang berlangsung di Jawa dan penipisan lahan yang diakibatkannya.
Selain itu, lanjutnya, perlu diingat bahwa Indonesia hanya memiliki 0,019 hektar lahan garapan per orang. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand dan Vietnam, yang tujuh hingga delapan kali lebih besar dari Indonesia, angka ini sangatlah rendah.
Pandangan Ganjar Pranowo Soal Lumbung Pangan Dunia
Pada acara “Pidato Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Strategi Politik Luar Negeri yang diselenggarakan pada 7 November 2023 di Kantor CSIS, Jakarta, Calon Presiden Ganjar Pranowo Mengungkapkan bahwa Indonesia bisa berpotensi menjadi lumbung pangan dunia.
Agar Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia, menurut Ganjar, Indonesia juga perlu menjamin kestabilan pasokan pangan saat terjadi kerusuhan atau perang. Bagi Ganjar, Indonesia memproduksi 5,9 ton beras per hektar. Ganjar sebenarnya mengharapkan kenaikan produksi padi sekitar 7 ton per hektar.
Modernisasi dan mekanisasi diperlukan, dan pemerintah tidak boleh mengabaikan politik pangan jika Indonesia ingin menjadi keranjang pangan global. Selain itu, mantan Gubernur Jawa Tengah ini mendukung kembalinya Badan Urusan Logistik (Bulog) ke peran semula. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan pokok negara.
Petani juga mengeluhkan kepada Ganjar mengenai biaya produksi yang mahal dan harga beras yang dijual ke pelanggan terlalu mahal. Oleh karena itu, pengelolaan keadaan ini dalam kerangka kepentingan nasional adalah suatu keharusan.
Backlink :
https://gerakan.id/?s=ganjar+pranowo
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar