JAKARTA, suarapembaharuan.com - Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mendorong lembaga survei semestinya berada di ruang netral. Bekerja dengan etika, bisa dipertanggung jawabkan, dan mengedepankan etika.
Ilustrasi |
“Lembaga survei harus profesional, transparan, dan meningkatkan tanggung jawab kepada publik. Selain itu lembaga survei politik juga menguatkan peran asosiasi untuk mengawasi kualitas survei agar senantiasa patuh kepada kode etik yang telah disepakati bersama.” kata Surokim.
Surokim, yang juga Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo ini menambahkan, ada perbedaan besar antara lembaga survei dan konsultan publik. Lembaga survei sesungguhnya berada di kamar netral. Dia bertindak imparsial sebagai penghasil data perilaku memilih. Sementara konsultan politik berada di kamar sebelah yang memang harus memihak dan partisan. “Jadi sebetulnya peran keduanya berbeda dan harus dipisahkan secara tegas.” tegas Surokim.
Terlepas dari pro kontra atas peran Lembaga Survei faktanya hingga saat ini pertarungan politik berbasis data dan ilmu pengetahuan tetap dipercaya dan dinantikan. Tidak heran jika setiap gelaran pemilu selalu hadir lembaga survei dan konsultan politik. Hampir sebagian besar kandidat yang ikut kontestasi selalu memakai jasa lembaga survei dan konsultan politik sebagai kompas jalan.
Surokim mengingatkan, pertarungan antar lembaga survei ke depan akan semakin kuat. Perang publikasi hasil survey akan semakin keras karena masuknya berbagai kepentingan praktis guna mendesakkan kandidat untuk memperoleh dukungan, popularitas dan akseptabilitas dari pemilih. “ Penegakan etika menjadi penting terutama ketika hasil survei dipublikasikan kepada publik.” kata Surokim.
Masih ada harapan bahwa lembaga survei bisa melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab. “ Survei politik jika dilakukan dengan prosedur dan metode yang benar, dapat memotret opini publik dengan cermat dan menjadi referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Lembaga survei harus didorong agar memenuhi prinsip tanggung jawab publik.” tandas Surokim.
Sebelumnya, Setara Institute menyatakan, survei terkait elektabilitas calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) semakin tidak masuk akal dalam beberapa hari terakhir.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani menyoroti posisi lembaga survei, yang disebutnya juga merangkap sebagai konsultan politik atau juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei. “Atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi,” ujar Ismail.
Setara Institute juga menyayangkan materi-materi survei yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan konstitusi. Seperti survei jabatan tiga periode pada tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, hingga putusan MKMK. “Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas ‘term-term’ tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, nir etika, dan merusak demokrasi,” kata Ismail.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar