JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai perbedaan hasil survei belakangan ini patut segera disikapi. Pasalnya, beberapa hasil survei cenderung berbeda jauh dengan survei lain. Padahal, seharusnya tidak.
Emrus Sihombing. Google |
"Survei itu kan termasuk dalam pendekatan saintifik yang kadang disebut pendekatan objektif. Sebagai pendekatan saintifik dan objektif maka hasilnya harus sama, kalaupun berbeda karena batas margin of error," terangnya.
Emrus menyarankan segera dibentuk dewan etik lembaga survei yang bertugas mengontrol metodologi survei, variabel pertanyaan, dan pelaksanaan sampling. Lembaga survei pun dituntut untuk mau transparan terhadap dapur surveinya.
"Perlu kita diskusikan metode dan sebagainya, karena aneh bagi saya perbedaannya 5% ke atas," tandasnya.
Dewan etik itu juga harus mempunyai wewenang dari membatalkan hasil survei hingga sanksi denda.
"Sudah urgensi, dibentuk dewan etika lembaga surveyor yang salah satu kewenangannya adalah menggagalkan hasil survei ketika terbukti pelanggaran etika dan sanksi Rp1 triliun pada masyarakat karena masyarakat yang terbius," tegasnya.
Ia pun menyoroti adanya indikasi penggiringan opini publik serta pemanfaatan bandwagon effect melalui hasil survei, apalagi berkenaan dengan elektabilitas para calon di Pilpres 2024.
"Saya kira ketika kredibilitas dan integritas pelaku survei tidak terjaga dengan baik dan mereka berafiliasi dengan kekuatan politik tersebut, benar itu ada indikasi," pungkasnya.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar