JAKARTA, suarapembaharuan.com - Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan keprihatinannya dan kemarahan mendalam dunia melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Hal tersebut disampaikan Hery Sucipto saat mengikuti Webinar Moya Institute bertajuk "Konflik Palestina-Israel : Peluang Penyelesaian" pada Jumat (17/11/2023).
Menurutnya lebih dari 50 persen korban serangan Israel adalah bayi dan anak-anak. Dan ini merupakan jumlah korban terbesar sejak Intifadah tahun 2000.
"Karena itu, Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel," ujarnya.
Sementara itu, Mantan Dubes RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi mengungkapkan, aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel dan Palestina sedang ditunggu dunia.
Hal ini dikarenakan negara-negara Islam, yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) tidak memiliki daya tawar sebesar Indonesia.
"Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam," ujar Yuddy.
Lebih lanjut dikatakan Yuddy, bila seluruh umat Islam di negara-negara Arab dikumpulkan menjadi satu, tetap belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia. Portofolio itulah yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara-negara Arab yang tidak jelas sikapnya.
Hal senada juga disampaikan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Prof. Dr. Hikmahanto Juwana. Menurutnya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya menyerang Gaza, Palestina.
Tapi yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998), yang memungkinkan dia diadili oleh International Criminal Court (ICC).
Tapi, bisa juga melalui mekanisme lain, yakni resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB). DK-PBB sebenarnya bisa mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel.
"Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti 'macan ompong' sebetulnya," tegasnya.
Kemudian, Prof Imron Cotan sebagai Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global berpendapat ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Orang Yahudi itu secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam.
Sedangkan zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina, menolak berdirinya negara Palestina. Dan sekarang kaum zionis ini berkuasa di pemerintahan Israel melalui kelompok ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu.
"Karena itu tak heran bila beberapa waktu lalu salah satu Menteri Israel, Amihay Eliyahu menyatakan bahwa sebaiknya bom nuklir dijatuhkan di Gaza". Padahal korban di pihak Palestina sudah mencapai 12.000, separuh diantaranya bayi dan anak-anak.
Pada kesempatan yang sama, Prof Abdul Mu’ti selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah memandang konflik Israel-Palestina dari beberapa dimensi.
Dimensi pertama adalah dimensi teologi. Abdul Mu'ti menyatakan konflik ini disebabkan oleh klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya.
Namun, lanjut Mu'ti, dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Karena itu, Muhammadiyah menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.
"Dan two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan," ungkap Mu'ti.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar