JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meluapkan rasa jengkel pada pemerintah yang dinilainya bertindak sewenang-wenang dengan mengintimidasi masyarakat menjelang Pilpres 2024.
Dr. Edi Hardum, S.IP., S.H., M.H |
Kejengkelan itu diutarakan Megawati di hadapan ribuan relawan yang menghadiri Rakornas Relawan Ganjar-Mahfud Se-Pulau Jawa di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2023).
Presiden kelima Republik Indonesia itu mempertanyakan sikap pemerintah yang menekan dan memerintah rakyat dengan melanggar peraturan perundang-undangan.
“Mestinya Ibu nggak perlu ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Karena apa? Republik ini penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman Orde Baru?”
Apa alasan Megawati blak-blakan menyamakan pemerintahan Presiden Jokowi dengan pemerintahan Orde Baru?
Praktisi dan Dosen Hukum dari Universitas Tama Jagakarsa, Dr. Edi Hardum, S.IP., S.H., M.H, menyebut tuduhan Megawati itu didasarkan oleh empat hal.
Pertama, lolosnya Gibran Rakabuming sebagai cawapres. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat capres-cawapres dinilai cacat etika dan moral.
Penilaian ini diperkuat oleh putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memvonis Anwar Usman melakukan pelanggaran etika berat.
“Artinya ini adalah role by law, bukan role of law. Hukum untuk kekuasaan. Ini adalah orde baru,” ungkap Edi.
Edi menambahkan, putusan MK itu sebenarnya hanya untuk menggolkan Gibran. Semua itu terjadi by design. “Ini [tanda-tanda] munculnya orde baru yang baru. Benar kata Ibu Mega.”
Kedua, tindakan represif yang diduga dilakukan aparat di daerah. Edi menyebutkan beberapa contoh seperti penurunan baliho Ganjar-Mahfud di Bali dan Jawa Tengah.
Lalu pemanggilan 70 kepala desa di Jawa Tengah untuk diperiksa oleh Kepolisian Daerah setempat.
“Ini kan tindakan menakut-nakuti, ini neo Orde Baru,” tegas Edi.
Ketiga, munculnya capres tertentu yang kerap dianggap sebagai produk Orde Baru.
Sangat tidak logis, kata Edi, produk Orde Baru diusung untuk menduduki jabatan tertinggi negara setelah perjuangan reformasi yang berdarah-darah.
Edi mengakui, praktik ini pernah terjadi pada pilpres sebelumnya. “Ini [memang] sebuah kesalahan. Tapi apakah sebuah kesalahan harus dibuat lagi? Harusnya di-stop dong.”
Keempat, koncoisme dalam pemerintahan Jokowi.
Edi menyinggung pengangkatan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri dan Jenderal Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI. Keduanya bertugas di Surakarta semasa Jokowi menjabat Wali Kota.
“Orde baru kan dasarnya nepotisme itu. Yang antara lain tidak beda jauh dengan koncoisme ini,” ungkap Edi.
Lebih lanjut, Edi mengapresiasi keberanian Megawati yang mengingatkan publik akan adanya ancaman neo Orde Baru ini.
“Itu sebuah warning bahwa sekarang ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” pungkas advokat di Kantor “Edi Hardum and Partners” itu.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar