Oleh : Janpatar Simamora
Banyak pihak berharap agar MKMK membatalkan putusan MK terkait usia Capres-Cawapres. Hal ini menurut saya mustahil dilakukan karena putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945.
Janpatar Simamora.ist |
Putusan MK itu bagaikan kitab suci yang tidak bisa dilakukan perubahan atau pencabutan karena tidak mengenal upaya hukum apapun. Maka sejak awal saya berkeyakinan bahwa MKMK tidak akan berani masuk pada substansi putusan MK. Dalam berbagai kesempatan saya sering mempersoalkan sifat putusan ini, karena bagaimanapun juga bahwa hakim MK juga manusia yang tidak luput dari kesalahan atau kekurangan, maka seyogianya putusannya juga dapat dikoreksi secara hukum.
Kedua, harus dipahami sejak awal bahwa wewenang MKMK terbatas hanya untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan Mahkamah Konstitusi serta memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Hal ini diatur dengan tegas dalam Peraturan MK No. 1 Tahun 2023 tentang MKMK. Jadi tidak sampai masuk pada putusan mahkamah, karena pendapat hakim dalam putusan dianggap sebagai independensi hakim.
Ketiga, MKMK menyatakan bahwa seluruh hakim konstitusi melakukan pelanggaran dengan kategori berbeda, mulai pelanggaran ringan sampai berat, khususnya karena dianggap tidak bisa menjaga kerahasiaan Rapat Permusyawaratan Hakim atau RPH sebagai tahapan persidangan yang bersifat rahasia di MK. Sanksi ini tentu wajar dan patut dijatuhkan.
Keempat, MKMK menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran berat dalam menangani kasus batas usia Capres-Cawapres. Sehingga kemudian diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK.
Terkait hal ini, jika terbukti melakukan pelanggaran berat, semestinya Anwar Usman dijatuhkan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Peraturan MK No. 1 Tahun 2023, bukan hanya sebatas diberhentikan dari jabatan sebagai ketua MK. Artinya jika MKMK konsisten dengan pendapatnya bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, maka sanksi yang seharusnya menurut PMK No 1 Tahun 2023 adalah pemberhentian tidak dengan hormat. Toh ketika putusan dengan sanksi PTDH itu dijatuhkan dan kemudian dianggap keliru, maka hakim yang bersangkutan masih dimungkinkan membela diri dihadapan sidang Majelis Kehormatan Banding.
Namun mencermati putusan MKMK kali ini, saya melihat sepertinya MKMK kurang yakin dengan pelanggaran berat yang disebutkan atau mungkin berbeda pandangan sesama majelis kehormatan dalam menilai pelanggaran yang mereka temukan. Ini menjadi catatan penting ke depannya agar MKMK juga dapat bersikap tegas dan konsisten dalam menjalankan wewenangnya demi menjaga marwah lembaga pengawal konstitusi.
Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi seluruh hakim MK agar mampu menjaga marwah dan nama baik institusi sekelas MK, sehingga kemudian masyarakat luas percaya akan reputasi MK sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di tanah air yang benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini.
Penulis merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan.
Kategori : Opini
Editor : AHS
Posting Komentar