JAKARTA, suarapembaharuan.com - Pengamat Politik Prof Ikrar Nusa Bhakti mengaku heran dengan perubahan sikap dan perilaku Presiden Joko Widodo yang sangat drastis. Dulu, kata Ikrar, dikenal jargon 'Jokowi adalah Kita' sekarang Jokowi justru terlihat membangun dinasti seperti Raja Jawa.
Hal ini disampaikan Ikrar Nusa Bhakti dalam diskusi bertajuk 'Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi di Malang, Jumat (10/11/2023). Diskusi ini merupakan hasil kerja sama FH Universitas Brawijaya dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis.
"Saya heran kenapa Jokowi bisa berubah 180 derajat dari seseorang yang tadinya 'Jokowi Adalah Kita' kini ingin membangun dinasti seperti 'Raja Jawa' melalui keluarganya. Jokowi seperti lupa tentang dirinya sendiri, lupa akan sumpah yang dia ucapkan, lupa kepada teman, lupa dari lingkungan mana dia berasal," ujar Ikrar dalam diskusi tersebut.
Menurut Ikrar, fenomena yang terjadi pada Jokowi bahkan tidak pernah terjadi di dalam sejarah politik Indonesia dan tidak pernah juga terjadi dalam sejarah politik di dunia internasional. Di mana orang yang sudah diangkat menjadi wali kota dua kali, lalu dimajukan jadi gubernur, lalu dimajukan lagi menjadi Presiden dua kali, tiba-tiba tanpa alasan yang jelas meninggalkan partai politik yang mengusungnya pada jabatan politik tersebut.
"Baru kali saya mengetahui dan mengalami ada peristiwa politik semacam ini," ungkap dia.
Lebih mengherankan lagi, kata Ikrar, hari ini Jokowi justru mendukung Prabowo Subianto, orang yang pernah menjadi lawannya sebanyak dua kali dalam politik, meski belakangan menjadi pembantunya juga di kabinetnya. Kemudian, lanjut dia, Prabowo dipasangkan dengan Putra Sulung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
"Lawan politiknya yang dia (Jokowi) dukung ini kemudian berpasangkan dengan anaknya sendiri, lalu muncullah narasi anak muda perlu didukung dalam berpolitik dengan mengambil contoh Sutan Syahrir. Yang mereka tidak tahu adalah sejak kapan Sutan Syahrir berpolitik, bagaimana posisi Sutan Syahrir dalam politik kemerdekaan Indonesia," tutur dia.
"Perlu dicatat bahwa Sutan Syahrir adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang tidak pernah berkompromi dengan Belanda, beda misalnya dengan pejuang kemerdekaan yang lain yang mau duduk bersama dengan Belanda. Jadi narasi mendukung anak muda dalam politik ini asal jeplak saja," jelas Ikrar menambahkan.
Pada kesempatan itu, Akademisi Fakultas Hukum UMM Dr.Catur Widoharuni S.H, M.H mengatakan marwah Mahkamah Konstitusi (MK) dipertaruhkan melalui putusan terkait batas usia capres cawapres. Menurut Catur, melalui putusan tersebut juga MK terlihat tidak bisa menjaga marwahnya, sehingga MK diolok-olok dengan sebutan 'mahkamah keluarga'.
"MK seharusnya berperan sebagai penjaga demokrasi konstitusional, yakni sesuai penjelasan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan Indonesia sebagai negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum artinya tidak boleh ada aturan hukum yang bertentangan dengan kepentingan dan nurani rakyat," kata Catur.
Catur menegaskan, demokrasi itu harus berpijak pada etika dan moral, tidak boleh kekuasaan politik itu dilanggengkan melalui aturan hukum yang bertentangan dengan etika dan moral. Menurut dia, dalam perkara terkait batas usia capres-cawapres yang diputus oleh MK menunjukkan adanya cacat etika dan moral yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan.
"Memang sistem demokrasi memungkinkan bagi orang yang populis untuk terpilih, tetapi popular saja tidak cukup, ia harus juga disertai dengan kapasitas yang baik, kapasitas saja juga tidak cukup tetapi ia juga harus dilengkapi dengan moral dan etika dalam berpolitik," terang Catur.
Menurut Catur, demokrasi esensial menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, artinya setiap keputusan politik tidak boleh bertentangan dengan hati dan nurani rakyat. Sementara demokrasi prosedural hanya berpatokan pada terselenggaranya pemilu. Dia menilai pemilu itu sendiri mudah direkayasa melalui penyalahgunaan kekuasaan atau money politik.
"Demokrasi akan mati di tangan pemimpin terpilih yang membajak proses tersebut hingga membawanya pada tampuk kekuasaan. Demokrasi hari ini digerus pelan-pelan dalam langkah-langkah yang nyaris tak kasat mata ataupun terang-terangan dengan kuasa modal dan politik. Sebagian besar pengamat demokrasi di dunia berpendapat bahwa Indonesia mengalami resesi demokrasi," pungkas Catur.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar