JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Badan Pengurus Centra Initiatif Al Araf menilai Bakal Calon Presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto akan diuntungkan jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres maju pilpres sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keuntungan tersebut, kata Al Araf, dalam konteks Prabowo bakal meminang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres di Pilpres 2024.
"Dalam putusan MK besok yang paling berkepentingan dan paling diuntungkan adalah Prabowo Subianto, karena PDIP sudah pasti tidak diuntungkan, karena sama-sama dari PDIP (Gibran dan Ganjar), secara teori tidak memberikan efek peningkatan suara bagi Ganjar selaku capres dari PDIP," ujar Al Araf dalam diskusi bertajuk 'Makamah Konstitusi atau Makamah Kekuasaan?' yang digelar di Sadjoe Cafe dan Resto Tebet Jakarta Selatan, Minggu (15/10/2023).
Pada Pilpres 2019, kata Al Araf, Prabowo dan Sandiaga Uno yang berasal dari partai yang sama, yakni Gerindra, maju dalam satu paket capres dan cawapres. Pasangan Prabowo-Sandiaga memaksakan bertarung tanpa ada insentif politik dan akhirnya kalah.
"Anies Baswedan tidak berkepentingan atas putusan MK karena Anies sudah punya pasangan cawapres Muhaimin Iskandar. Jadi yang paling berkepentingan atas putusan MK adalah Prabowo Subianto," tegas Al Araf.
Al Araf juga menyindir MK yang kerap tidak bekerja untuk masalah-masalah yang bersifat substansial mengawal hak-hak konstitusional warga negara. Menurut dia, ruang diskusi, baik ambang batas bawah atau ambang batas atas usia capres dan cawapres harus dilakukan di DPR, bukan di ruang Mahkamah Konsitusi.
"MK digagas untuk mengawal konstitusi berdasarkan kehendak rakyat, saat ini yang terjadi justru sebaliknya," tandas Al Araf.
Pada kesempatan yang sama, Direktur YLBHI M. Isnur mempertanyakan kinerja MK dalam kurun waktu belakangan ini. Isnur mengaku sudah mencatat dalam 5 putusan sebelumnya khususnya terkait KPK, memutuskan bahwa KPK adalah lembaga eksekutif, padahal fungsi MK lebih dekat pada fungsi yudikatif.
"Hal tersebut kemudian yang menjadi landasan revisi UU KPK bahwa KPK adalah lembaga eksekutif.Bahkan Ketua MK, pernah bertemu dengan bupati, padahal bupati merupakan pihak yang berperkara di MK," ungkap Isnur.
Selain itu, kata Isnur, dalam sejarahnya juga terdapat hakim MK yang terlibat korupsi seperti Patrialis Akbar. Lalu, kata dia, ada juga hakim MK yang nego-nego dengan DPR terkait perpanjangan masa tugasnya sebagai hakim MK
"Ini jelas melanggar etik sebagai hakim MK. Apakah kita bisa percaya kepada hakim MK yang diduga pernah terlibat korupsi," tutur Isnur.
Lebih lanjut, Isnur mengatakan hakim MK seharusnya konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi batas usia capres dan cawapres. Namun, kata Isnur, timbul gejala MK tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya.
"Selain itu proses revisi Undang-undang MK pada tahun 2020 juga hanya 30 hari dan itu hanya menambah usia jabatan hakim MK. Ketua MK ini juga melanggar etik, di mana dia sedang menangani perkara tetapi dia berkomentar di luar, dia bicara di forum terbuka dan berbicara tentang kasus yang sedang dia tangani ini. Ini betul-betul masalah dan merusak citra MK," pungkas Isnur.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar