Kata Pengamat Soal Kunci Pilpres di Jawa Timur: Dukungan NU, Jokowi, dan Sepak Bola!

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Direktur Eksekutif Suropati Syndicate Muh. Shujahri mengatakan Jawa Timur yang menjadi wilayah pertempuran (battle ground) menjadi penentu pemenangan pemilu presiden (Pilpres) di Indonesia. Sejak pemilihan langsung 2004, pemenang Pilpres adalah calon yang menang di Jawa Timur.


Ilustrasi

Dengan total suara yang mencapai 31 juta pemilih, Jatim menjadi kantong suara terbesar setelah Jabar yang memiliki total 35 juta pemilih. Berbeda dengan Jatim, pemilih di Jabar cenderung bulat dalam menentukan pilihannya. Sejak Pemilu 1955, Jabar selalu menjadi basis kekuatan kelompok hijau (Islam dan militer). Jateng juga memiliki basis pemilih solid ke kelompok merah. 


"Sebaliknya, arah dukungan di Jatim jauh lebih dinamis. Provinsi ini adalah swing state. Jatim menjadi provinsi sulit ditebak. Hal ini karena komposisi wilayah Jatim yang memiliki karakter ideologi berbeda-beda. Setidaknya ada tiga klaster ideologi utama di sana, yakni mataraman, tapal kuda, dan arek," kata Shujahri.


Mataraman menjadi wilayah yang memiliki irisan dengan Jawa Tengah yang terbentang dari Tulungagung hingga Banyuwangi. Basis pemilih di wilayah ini adalah kalangan nasionalis dan abangan. Sedangkan wilayah tapal kuda adalah basis kekuatan santri (NU tradisional) yang terbentang dari Probolinggo hingga Madura. Sementara arek merupakan basis perkotaan yang tersebar antara Surabaya hingga Malang. Wilayah arek didominasi oleh pemilih rasional. 


Menurutnya, komposisi ideologi pemilih mataraman, arek, dan tapal kuda inilah yang membuat politik Jatim sulit ditebak. Sebagai contoh, saat Pemilu 2004 yang mana PDIP yang kuat di basis mataraman dan arek menggandeng Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi yang secara teori dekat dengan santri, malah keok oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.


"Pun halnya Khofifah yang dua kali kalah dari Soekarwo di Pilkada Jatim. Basis dukungan Karwo saat itu adalah dari Partai Demokrat yang punya basis kekuatannya di wilayah mataraman," jelasnya.


Menurutnya, apa yang terjadi di Jatim ini memberi banyak pelajaran bahwa fragmentasi ideologi arek, mataraman, tapal kuda begitu rumit untuk ditaklukkan. Fakta sejarah juga menunjukkan tak pernah ada calon yang bisa merepresentasikan klaseter ideologi tertentu, terlebih klaster tapal kuda (NU).


Sebab, kata dia, klaster ini ditentukan oleh bagaimana calon bisa mendapatkan dukungan kiai khos, pesantren besar, maupun simpati dari santri. Di Tapal Kuda ada ratusan kiai khos dan pesantren besar. Jumlah santrinya pun bisa mencapai ratusan ribu. "Walhasil jadi pekerjaan amat besar bagi calon untuk bisa merebut suara mutlak dari kalangan santri," ujarnya.


Layaknya Pilpres 2014, hampir bisa diprediksi dukungan kiai khos akan terbelah ke beberapa capres/cawapres yang punya irisan dengan NU. Jadi bisa dipastikan pula suaranya akan terbagi-bagi. Strategi Anies menggaet Muhaimin Iskandar sama sekali bukan jaminan kelompoknya bakal mendominasi wilayah tapal kuda.


Shujahri menanbahkan, di wilayah mataraman, perebutan suara bisa ditentukan sejumlah faktor. Faktor pertama adalah mesin partai. Dalam hal ini Prabowo diuntungkan dengan masuknya Partai Demokrat yang punya kekuatan di beberapa kabupaten mataraman. 


Sama halnya denhan Ganjar yang punya faktor pendukung PDIP yang solid di sejumlah wilayah. Tapi ada faktor x lain, yakni dukungan Jokowi yang bisa pula mempengaruhi arah suara di basis mataraman.  Sedangkan pada basis wilayah arek, kata dia, suaranya akan begitu dinamis. Wilayah arek bisa jadi menjadi sintesis apa yang terjadi di wilayah tapal kuda dan mataraman. 


Faktor kunci lain yang bisa jadi penentu hasil di Jatim adalah sepak bola. Hal ini belum banyak dipotret oleh analis dan lembaga survei. Padahal secara empirik faktor sepak bola ini sudah teruji dalam menentukan hasil di beberapa Pemilihan Walikota atau Pemilihan Bupati di Jatim. 


Menurutnya, Jatim adalah wilayah di Indonesia yang punya jumlah klub sepak bola dengan komunitas pendukung yang sangat besar. Di Liga 1 saja, ada empat tim asal Jawa Timur, yakni Persebaya, Arema, Persik Kediri, dan Madura United. Pun halnya di Liga 2 yang mana ada Persela Lamongan, Gresik United, dan Deltras Sidoarjo. Jadi hampir seluruh kota dan kabupaten di Jawa Timur, punya klub sepak bola yang punya ekosistem pendukung fanatik. 


Faktor sepak bola ini bahkan menjadi kunci yang mengantarkan CEO Persela Lamongan,Yuhronur Effendi, menjadi bupati Lamongan pada 2020. Selain faktor NU, dukungan partai, dan endorse Jokowi, maka faktor sepak bola menjadi kunci yang bisa menentukan hasil Pilpres di Jatim.


"Kini Prabowo dan Ganjar yang masih menimang sosok cawapres, mesti berhitung cermat siapakah sosok pendamping yang memiliki semua atribut untuk menaklukkan battle ground di Jawa Timur?," kata Shujahri.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama