Jokowi dan Prabowo Diminta Bertanggung Jawab Atas Dugaan Jual Beli Senjata ke Myanmar

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto harus bertanggung jawab atas dugaan transaksi jual beli senjata produksi tiga BUMN Indonesia yang dipakai Junta Militer Myanmar. Apalagi, kata Julius, jual beli senjata tersebut mengakibatkan pelanggaran HAM berat di Myanmar.



"Menteri Pertahanan dan Presiden Jokowi harus bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi dengan penggunaan senjata produksi Indonesia terhadap situasi kemanusiaan di Myanmar," ujar Julius sat diskusi publik bertajuk 'Junta Myanmar, Pelanggaran HAM dan Problematika Suplay Senjata dari Indonesia' di Café Sadjoe, Jakarta, Senin (9/10/2023).


Selain Julius, pembicara lain yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Shiskha Prabawaningtyas (Akademisi universitas paramadina), Feri Amsari (Themis Law Firm dan Akademisi Universitas Andalas), Muhammad Isnur (Ketua YLBHI, dan Al Araf (Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative).


Julius mengatakan pihaknya mendukung langkah Marzuki Darusman, Usman Hamid, dkk yang membuat laporan kepada Komnas HAM terkait dengan jual-beli senjata secara illegal yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat di Myanmar. Menurut dia, Di Myanmar telah terjadi pembunuhan, penculikan terhadap aktifis, pembakaran desa-desa, pemerkosaan, pengusiran dan sebagainya.



"Sementara itu BUMN kita menjadi game keeper suplay senjata dari Indonesia kepada junta militer Myanmar. Pertangggungjawaban pelanggan HAM adalah berada pada negara. Si penjual harus menanyakan penggunaan senjata untuk apa, apakah pemerintah menanyakan penggunaan senjata yang dibeli oleh Myanmar. Ini perlu dijawab oleh pemerintah," tegas Julius.


Julius juga mengungkapkan persoalan terkait masalah pertahanan selalu tertutup dan tidak ada transparansi. Industri pertahanan Indonesia, kata dia, juga tertutup, hanya pemerintah yang membidangi bidang pertahanan dan BUMN yang bisa mengakses. Padahal Pasal 2 UU Industri pertahanan mengatakan bahwa industri pertahanan harus dikembangkan dengan asas profesionalitas dan akuntabilitas. 


"Seharusnya publik bisa mengakses dengan mudah informasi-informasi terkait penjualan senjata di website kementrian pertahanan. Tetapi ini tidak bisa diakses oleh publik terkait informasi dijual ke siapa, jumlahnya berapa, digunakan untuk apa, serta vendorya siapa," terang Julius.



Dalam ekspor persenjataan di Indonesia, lanjut Julius, Komite Kebijakan Industry Pertahanan atau KKIP memiliki peranan penting sesuai undang Undang-undang industri pertahanan. KKIP, kata dia, memiliki fungsi pengendalian dan kontrol senjata. Hanya saja, ketua KKIP adalah Presiden dan Menteri Pertahanan sebagai ketua harian, wakil KKIP adalah menteri BUMN. 


"Berdasarkan Perpres No. 27 tahun 2019 tentang Syarat Dan Tata Cara Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan Dan Keamanan Produk Industri Pertahanan Kontrak Jangka Panjang pengadaan atau penjualan itu diusulkan oleh mentri pertahanan, diusulkan kepada KKIP yang juga mentri pertahanan sebagai ketua harian. Dalam konteks ini tentu minim akuntabilitas, karena regulator, pengusul, dan eksekutor adalah mentri pertahanan itu sendiri," jelas Julius.


Pada kesempatan itu, Akademisi Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas mengungkapkan Indonesia sudah kehilangan momentum mendamaikan Myanmar. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak lagi menjabat sebagai Ketua ASEAN.


"Indonesia sudah kehilangan momentum untuk mendamaikan Myanmar, karena Indonesia sudah tidak lagi ketua ASEAN. Sementara itu Myanmar sudah semakin percaya diri, karena sudah punya kapal selam, punya Sukhoi dan senjata canggih lainnya," pungkas Shiskha.


Kategori : News


Editor     : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama