Petrus Selestinus: Polri Harus Jadi Pengayom Warga dalam Pengembangan Rempang Eco City

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Kuasa Hukum Gerisman Ahmad, Perwakilan Masyarakat Pulau Rempang, Batam, Petrus Selestinus mengingatkan pihak kepolisian agar menjadi pengayom masyarakat dalam proses pengembangan Rempang Eco City di Batam. Menurut Petrus, aksi polisionil yang dilakukan oleh Anggota Kepolisian Batam terhadap puluhan warga Pulau Rempang, semakin memanaskan situasi.



Pasalnya, di saat warga menghadapi tekanan pihak BP. Batam untuk meninggalkan Pulau Rempang, Polisi justru hadir dan mencari-cari kesalahan warga  untuk diintimidasi demi membela BP. Batam dan pengembang proyek Rempang Eco City.


"Saat ini warga Pulau Rempang merasakan nuansa penggiringan ke arah kriminalisasi dengan mencari-cari pasal pidana untuk tuduhan melanggar UU No.27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ini cara-cara represif agar warga kehilangan posisi tawar ketika mempertahankan hak-haknya atas tanah leluhur yang hendak digusur demi proyek Eco-City Rempang," ujar Petrus saat ditemui di Kawasan, Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023).


Petrus menegaskan secara historis, warga Pulau Rempang bukanlah warga yang baru kemarin sore menjadi penduduk Pulau Rempang. Mereka adalah suku Melayu yang sudah ratusan tahun secara turun temurun bersama para perantauan asal Flores, NTT mendiami 16 Kampung, menguasai, memiliki lahan dan menggarap tanah Pulau Rempang dengan segala hak-hak tradisionalnya.


Sementara, secara demografis, Pulau Rempang dengan luas wilayah 17.000 Ha, dihuni oleh warga penduduk asli Melayu dan sebagian kecil perantauan asal Flores, NTT. Total jumlah mereka adalah sebanyak 7.512 jiwa, terbagi atas 16 kampung tua, di bawah Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, dengan luas wilayah yang dikuasai seluas 1.500 Ha.


"Mayoritas warga Pulau Rempang, berprofesi sebagai Nelayan dan Petani, namun demikian mereka sangat mendukung BP. Batam membangun Eco-City Rempang, akan tetapi mereka menolak direlokasi begitu saja meninggalkan kampung halaman untuk pindah ke Pulau Galang, karena sejak awal tidak dilakukan konsultasi, sosialisasi dan musyawarah," jelas Petrus.



"Sebagai warga suku asli yang sudah ratusan tahun menghuni Pulau Rempang, mereka memiliki struktur sosial dan kekerabatan dengan kohesi sosial sangat kuat dan toleran antara suku Melayu dan Flores, NTT, karena diikat oleh tradisi budaya dengan hak-hak tradisionalnya masing-masing tumbuh dan berkembang dan harus dihormati oleh siapapun juga," tutur dia menambahkan.


BP Batam Diduga Langgar Konstitusi dan Bohongi Presiden Jokowi


Petrus juga menduga kuat BP Batam telah melanggar konstitusi dan membohongi Presiden Joko Widodo dalam pengembangan Rembang Eco City. Petrus menegaskan konstitusionalitas penghormatan terhadap hak-hak masyarakat Pulau Rempang dan tradisi budaya dengan hak tradisionalnya, sangat memadai karena dilindungi oleh pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih ada.


"Alas hak atas tanah warga Pulau Rempang yang diperkuat oleh konstitusi itu diatur lebih lanjut oleh SK Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9-VIII-1993, Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah, tanggal 03 Juni 1993, jo. Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1993 dan terakhir dengan UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum," terang dia.


Namun dalam praktek, tutur Petrus, BP. Batam tidak melaksanakan SK. Menteri Agraria/Kepala BPN dan perundang-undangan lainnya itu selama puluhan tahun. Padahal SK Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 - VIII - 1993, tanggal 3 Juni 1993 itu, menggariskan perlindungan terhadap hak-hak warga Pulau Rempang, antara lain menyatakan, apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan hak pengelolaan tersebut masih terdapat, bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah.


"Kesalahan terbesar BP. Batam adalah mengabaikan prosedur pengadaan tanah, hanya mengejar target pembangunan proyek Eco-City Rempang, hingga dalam beberapa saat lagi akan dilakukan 'groundbreaking', sementara hal-hal mendasar, terutama penghormatan terhadap hak-hak atas tanah justru diabaikan dan tidak menjadi prioritas," tegas Petrus.


Laporan warga sebagaimana disampaikan oleh Gerisman Ahmad, tokoh masyarakat Pulau Rempang, bahwa pihaknya merasa diintimidasi dan dipersekusi oleh aparat Polri, karena warga menolak penggusuran Pulau Rempang, kata Petrus, nampak jelas telah terjadi tindakan sewenang-wenang oleh BP. Batam dengan memperalat Polri.


"BP. Batam telah melakukan tindakan yang sangat memalukan bahkan diduga kuat telah berbohong dan mengecoh pejabat tinggi negara mulai para Menteri terkait, Pengembang hingga Presiden Jokowi, seakan-akan persoalan Pulau Rempang hanya soal jadwal groundbreaking," kata Petrus.


Menurut Petrus, praktek tersebut harus dihentikan karena hal tersebut merupakan bagian dari tipu muslihat oknum pimpinan BP. Batam terhadap pemerintah pusat Jakarta. Karena  ternyata persoalan hak-hak atas tanah warga Pulau Rempang dan kepentingan pembangunan Eco-City tidak pernah disosialisasikan, dikonsultasikan apalagi dimusyawarahkan. 


"Ini jelas melanggar mekanisme PP No.19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan," kata Petrus.


Pada kesempatan itu, kuasa hukum Gerisman Ahmad yang lain,  Alfons Leomau, menyampaikan sejumlah poin  permohonan perlindungan hukum warga Pulau Rempang kepada Presiden Jokowi. Ada empat poin permintaan warga Rempang ke Presiden Jokowi agar dilakukan tindakan sementara sebagai berikut ini.


"Pertama, hentikan segala kegiatan proses peralihan hak dan pembangunan apapun di atas Pulau Rempang, sebagai bagian dari prinsip penghormatan kepada hukum dan kepada penghormatan terhadap hak-hak atas tanah dalam setiap kegiatan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum," kata Alfons.


Kedua, bentuk Tim Mediator untuk memediasi penyelesaian secara musyawarah antara warga Pulau Rempang dengan Pemerintah, dalam hal ini BP Batam atau Tim Mediasi melalui Pengadilan Negeri Batam, jika proeses hukum berupa gugatan ditempuh oleh masyarakat Pulau Rempang.


"Ketiga, hentikan proses kriminalisasi yang saat ini sedang berlangsung yang dilakukan oleh Polda Kepri, dengan menggunakan cara-cara yang bersifat mengintimidasi warga yang menuntut hak dengan tuduhan merusak Terumbu Karang dan lain-lain," tegas Alfons.


Terakhir, warga Pulau Rempang meminta agar dijadwalkan segera sebuah musyawarah yang dimediasi oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menko Polhukam atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, atau Gubernur Provinsi kepulauan Riau.


"Agar pembangunan proyek strategis nasional di Pulau Rempang tidak terhalang oleh ulah oknum BP Batam yang hanya mementingkan kepentingan bisnis dan mengabaikan hak-hak warga yang di dalamnya," pungkas Alfons.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama