Majelis Hakim Diminta Tidak Mudah Jatuhkan Putusan PKPU Bagi Ahli Waris yang Tidak Mengetahui Perjanjian

JAKARTA, suarapembaharuan.com – Sidang PKPU NO. 226/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA. JKT.PST., gugatan utang-piutang senilai Rp 700 Milyar, kembali dilaksanakan pada Rabu (16 Agustus 2023) lalu di PN Jakarta Pusat dengan agenda jawaban Termohon. Kuasa hukum Termohon I dan II, Damianus Renjaan, S.H., M.H., menegaskan permohonan para Pemohon dalam perkara ini, cacat hukum dengan sejumlah alasan dan meminta majelis hakim untuk tidak mudah menjatuhkan PKPU kepada ahli waris yang tidak mengetahui perjanjian yang dibuat pewaris.



Ada tiga Termohon dalam perkara 226 ini, di antaranya, Rozita Binte Puteh (Termohon I), Ery Rizly Bin Ekarasja Putra Said (Termohon II) dan Hesti Nurmalasari (Termohon III). Ketiganya dianggap bertanggung jawab atas utang sebesar sekitar Rp 700 Milyar. 


Adapun empat Pemohon, antara lain, Arsjad Rasjid (Pemohon I yang juga Ketua Umum KADIN Pusat), Said Perdana Bin Abubakar Said (Pemohon II), Indra P Said (Pemohon III) dan Daud Kai Rizal (Pemohon III). Faktanya, empat Pemohon dan tiga Termohon terkait, bukan para pihak yang menandatangani akta perjanjian nomor 78 di tahun 1998 atau 25 tahun lalu. Sebaliknya, lima pihak terkait di akta 78 tersebut, semuanya sudah meninggal dunia.


Damianus berpendapat, surat kuasa yang diberikan empat pemohon kepada kuasa hukum-nya, bersifat umum, bukan pengajuan perkara PKPU. “Kami melihat surat kuasa yang dari para ahli waris lainnya kepada para Pemohon PKPU, ternyata bersifat umum, hanya mau atau menagih bonus. Di surat kuasa itu, tidak ada perintah dari ahli waris lainnya untuk menyelesaikan kasus ini di pengadilan. Kalau kita bicara Hukum Acara Perdata, surat kuasa harus bersifat khusus yakni untuk menggugat siapa di pengadilan mana, siapa penggugat, siapa tergugat,” imbuh Damianus.



Jika merujuk pada UU Kepailitan dan PKPU, lanjut Damianus, maka yang seharusnya yang menandatangani surat permohonan PKPU adalah pemberi kuasa dan advokat-nya. Artinya ahli waris lainnya dari pemohon PKPU harus ikut menandatangani permohonan PKPU tersebut. Namun faktanya dalam surat permohonan ini, hanya para para Pemohon PKPU sedangkan ahli waris lainnya yang disebutkan dalam surat kuasa tidak menandatangani.


Saat pembacaan jawaban Termohon I dan II, Damianus juga menyebutkan perkara yang sedang dijalankan ini, tidak sederhana. Selain lemah secara administrasi, nyatanya masih ada perkara lain yang terkait di PN Jakarta Selatan, yakni perkara siapa sebenarnya ahli waris Almarhum Pak Eka atau pewaris PT Krama Yudha (Persero). Jadi seharusnya Arsjad Rashid dan tiga pemohon lainnya menunggu dengan sabar putusan atau penetapan keabsahan ahli waris-nya dan baru sidang perdana pada 29 Agustus 2023.  


Kata Damianus, “Artinya penyelesaian perkara ini tidak sesederhana yang dipikirkan. Perkara ini juga menjadi tidak nyambung dengan UU Kepailitan dan PKPU bahkan tidak sesuai dengan isi Akta 78 yang disengketakan.” 



Pada saat pembacaan jawaban Termohon I dan II, Damianus kembali menegaskan bahwa perkara yang mengacu pada akta 78 ini hanya pemberian bonus dan tidak ada utang-piutang Rp 700 Milyar yang harus dibayarkan pihak Termohon kepada empat pemohon. “Kalau dilihat dari sisi hukum Islam pun sebagaimana kami telah jelaskan bahwa yang diwarisi adalah pasiva atau harta dan bukan utang, maka sudah jelas, ini melenceng jauh,” tandas Damianus. 


Pihak Damianus juga mengusulkan agar sidang ini dapat menghadirkan Arsjad Rashid sebagai pemohon I. Dalam persidangan nantinya, Arsjad dapat menjelaskan alasan mereka menggugat, jelaskan dasar hukumnya, jelaskan juga isi surat kuasa yang diberikan kepada kuasa hukumnya untuk menggugat perkara ini.


“Kami juga berharap agar para hakim mengadili perkara ini dengan adil, bijaksana dan profesional, posisikan hukum di atas segalanya, sesuaikan dengan hukum yang berlaku. Hakaim diharapkan untuk tidak mudah menjatuhkan putusan PKPU kepada ahli waris yang tidak mengetahui perjanjian yang dibuat pewaris” demikian Damianus berharap.



RIWAYAT AKTA 78

Apa sebenarnya yang telah terjadi? Adalah Sjarnobi mendirikan dan mengembangkan PT Krama Yudha (Persero) dan berhasil. Karena perusahaan maju dan sukses, Sjarnobi ingin ‘berbagi’ rejeki dengan tiga saudara kandungnya; Srikandi, Nuni dan Abi. Ia juga berbagi dengan sahabat karibnya, Makmunar.


Untuk membuktikan keseriusannya, Sjarnobi melakukan perjanjian di hadapan notaris SP Henny Singgih pada 20 April 1998, hingga lahirlah akta notaris nomor 78 (akta 78). Akta ditandatangani Sjarnobi sebagai pihak I dan Srikandi, Nuni, Abi dan Makmunar sebagai pihak II.


Isi akta 78 antara lain, Sjarnobi siap memberikan bonus sebesar 18 % dari keuntungan bersih PT Krama Yudha kepada Srikandi, Nuni, Abi dan Makmunar. Namun akta tidak menyebutkan berapa besaran nilai bonusnya. Akta 78 juga menyebutkan, bonus diberikan saat perseroan memiliki keuntungan dan selama Sjarnobi, masih menjadi pemegang saham mayoritas. 


Pada periode ini, 1998-2001, pemberian bonus terwujud, namun pada 13 April 2001, Sjarnobi meninggal dunia. Itu berarti, sebagaimana kesepakatan dalam akta 78, tidak ada lagi pemberian bonus.


Syarat lain dalam akta 78 tersebut adalah pemberian bonus bersifat sukarela (tidak ada timbal-balik), tidak wajib atau atas dasar kemurahan hati Sjarnobi, namun diusahakan setiap tahun (tidak ada penentuan waktu). Karena atas dasar sukarela, maka secara hukum disebut naturlijke verbintenis (perikatan wajar/bebas/alamiah), tidak dapat dituntut pelaksanaannya di pengadilan sesuai pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata. 


Akta 78 juga menjelaskan, Srikandi, Nuni, Abi dan Makmunar, tidak diperkenankan melihat pembukuan perseroan, sebab keempatnya bukan pemegang saham. Rozita, Ery dan Termohon III dikategorikan sebagai keturunan kedua dan ketiga dari pihak pertama yang sama sekali tidak mengetahui akta 78 tersebut, sehingga secara hukum, tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas akta tersebut.


Fakta juga mengemuka bahwa para Pemohon maupun para Termohon, belum pernah tercatat sebagai direksi, komisaris dan pemegang saham PT Krama Yudha dan oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui pembukuan perseroan, sesuai tuntutan Arsjad dan lainnya.


Rozita dan Ery berpendapat, permohonan Arsjad dan lainnya telah kedaluwarsa. Seturut pasal 210 UU 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, menyatakan, batas permohonan PKPU adalah 90 hari sejak meninggalnya pewaris. Sjarnobi meninggal 13 April 2001 dan Eka meninggal 16 September 2022. Jika dihitung sampai 25 Juli 2023 saat permohonan PKPU diajukan Arsjad dan lainnya, telah melewati 312 hari. 


“Syarat dikabulkannya PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3) jo Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 adalah adanya utang yang dapat dibuktikan secara sederhana, sedangkan dalam perkara ini Termohon PKPU I dan II tidak mengetahui. Mereka juga tidak menandatangani akta 78 yang menjadi dasar utang. Masalah lain adalah sedang ada sengketa antara Termohon I, II di satu pihak, melawan Termohon III di pihak lain. Para Termohon ini harus menunggu putusan pengadilan siapa yang berhak menjadi ahli waris,” beber Damianus.


Pihak Rozita dan Ery berharap majelis hakim bisa menangani perkara PKPU ini dengan profesional. “Apalagi klien kami sebagai ahli waris generasi ketiga dari para pembuat perjanjian adalah warga negara asing. Mereka butuh kepastian dan perlindungan hukum yang layak,” pungkas Damianus penuh harap.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama