Komnas HAM Diminta Panggil Budiman Sudjatmiko dan Kivlan Zen Soal Kasus Penghilangan Paksa

JAKARTA, suarapembaharuan.com - Ketua Centra Initiative Al Araf meminta Komnas HAM segera memanggil Mantan Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko dan Mayjen Jenderal (Purn) Kivlan Zen terkait kasus penghilangan orang secara paksa. 


Caption: Acara media briefing dan diskusi Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang diselenggarakan Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa di Sadjoe Cafe & Resto, Jakarta, Rabu (30/8/2023).

Menurut Al Araf, energi semua elemen bangsa tidak boleh habis dalam pengungkapan kasus penghilangan orang secara paksa.


"Komnas HAM seharusnya memanggil orang yang ngomong telah melakukan penculikan. Komnas HAM melakukan penyelidikan, itu bukti nyata. Kalau Budiman Sudjatmiko ngomong korban sudah dikembalikan, Komnas HAM panggil Budiman sudjatmiko," ujar Al Araf dalam acara media briefing dan diskusi Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional yang diselenggarakan Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa di Sadjoe Cafe & Resto, Jakarta, Rabu (30/8/2023).



"Komnas HAM juga bisa panggil para purnawiran, seperti Kivlan Zen yang menyatakan tahu kasus penculikan dan dimana mereka yang hilang. Kalau gak mau datang, harus panggil secara paksa," tambah Al Araf.


Al Araf menilai kasus penghilangan orang secara paksa adalah PR yang belum selesai. Menurut  dia, kejahatan penghilangan orang secara paksa adalah continuing crime.


"Meskipun ada pengakuan bahwa korban telah dikembalikan, kejahatan adalah tetap kejahatan, tidak memulihkan kejahatannya. Kejahatannya tetap berlaku sepanjang si pelaku tidak diproses hukum, proses hukum harus tetap berjalan," ungkap dia.



Al Araf mengatakan, dalam politik HAM ada yang namanya lustrasi, yaitu menyatakan mereka yang terlibat dalam kejahatan HAM pada masa Orde baru tidak pantas untuk menduduki jabatan apalagi maju sebagai kandidat presiden. Menurut Al Araf, secara teori HAM, hal itu dibenarkan dan bukan kampanye politik, karena dibolehkan dalam HAM. 


"Hal ini juga pengalaman di sejumlah negara transisi di negara negara Eropa Timur. Ini untuk memisahkan antara masa lalu dan masa depan agar kesehatan politik terjamin. Aturan itu dibuat dalam Undang-undang," ungkap dia.


Al Araf mengingatkan masyarakat Indonesia memiliki hutang besar terhadap mereka yang hilang akibat dari praktik kekerasan negara pada masa itu. Pasalnya, mereka yang bekerja serius dalam mendorong demokratisasi, melawan rezim Soeharto dan rezim militeristik, kita mendapatkan kebebasan dan suasana demokrasi seperti saat ini. 



"Mereka adalah para martir perubahan yang membuat rezim politik mengalami pergeseran. Merek itu garda terdepan. Akibat dari kerja-kerja menuntut kebebasan, mereka dibungkam dan dihilangkan, sebagain dari mereka belum kembali," jelas Al Araf.


Pada kesempatan itu, Anggota Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sri Hidayati meminta elemen masyarakat agar tetap berjuang untuk penuntasan kasus penghilangan secara paksa. Menurut dia, tidak mudah karena pengungkapan kasus penghilangan paksa tak kunjung selesai meskipun Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang tidak berlatar belakang kasus HAM.


"Kasus penghilangan paksa di bawah pemimpin yang tidak berlatar belakang kasus HAM saja nggak selesai, apalagi ke depannya jika dipimpin oleh pelaku dalam kasus tersebut. Tidak mungkin mereka membongkar diri sendiri, karena sama aja dengan bunuh diri. Kita tidak akan diam dan akan terus melawan untuk menuntut keadilan. Banyak masyarakat yang masih memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa," pungkas Sri Hidayati.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama