BEKASI, suarapembaharuan.com – Para pemulung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, semakin resah. Pasalnya, pendapatan harian dari hasil memulung sampah tak lagi bisa mencukupi beban hidup keluarga yang semakin melambung tinggi.
Hanya dengan pemasukan Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per hari, para pemulung tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
“Pemasukan hanya Rp 70.000 sehari,” ujar Herman (21), pemulung tinggal di Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Senin (31/7/2023).
Tahun lalu, kata dia, penghasilan pemulung di TPST milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini bisa mencapai Rp 100.000 - 150.000 per hari.
“Sekarang sulit untuk mendapatkan penghasilan yang besar,” tuturnya.
Hal ini lantaran, harga jual sampah di tingkat pemulung telah anjlok hingga Rp 1.700 per kilogram (kg). Padahal, sebelumnya bisa mencapai Rp 2.500 per kg. Bahkan, beberapa material sampah yang biasa dijual ke pengepul, harganya turun drastis yakni Rp 600 per kg.
“Kami ingin harganya seperti dulu lagi, Rp 2.500 per kg,” ungkapnya.
Mereka tidak mendapat penjelasan secara rinci terkait turunnya harga sampah. Para pengais sampah hanya bisa pasrah dengan kondisi saat ini.
Diketahui, kondisi turunnya harga sampah di tingkat pemulung terjadi sejak Januari tahun ini.
Beberapa komunitas pemulung seperti Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) dan Yayasan Kajian Sampah Nasional (YKSN) mendalami kondisi turunnya harga berbagai sampah pemulung dan dampaknya terhadap kehidupannya.
Kajian tersebut dilakukan sejak 2019 hingga Juli 2023. Beberapa hari belakangan ini merupakan puncak penderitaan para pemulung yang mengalami penurunan pendapatan.
“Bagaimana dengan pemulung yang penghasilannya Rp 60.000 sehari? Dia harus menafkahi anak dan istrinya. Sangat berat mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari,” sambung Pengurus APPI, Duplok Nursaidi.
Bahkan, kata dia, uang hasil penjualan sampah para pemulung tak langsung diterima. Tertunda beberapa hari kemudian karena belum laku dijual ke pengepul berikutnya.
“Katakan, sudah laku terjual tetapi uangnya tidak ada karena pembayarannya ditunda. Jadi, pemulung menjual barang seminggu kemudian baru dibayar,” bebernya.
Dia menegaskan, apabila kondisi ini terus terjadi akan semakin menambah angka kemiskinan di Indonesia.
“Pemulung miskin yang semakin terpuruk, akan melahirkan kemiskinan kepada generasi anak-anaknya,” pungkasnya. (MAN)
Kategori : News
Editor : AHS
Foto: Para pemulung di TPST Bantargebang, Kota Bekasi. (SP)
Posting Komentar