Viral Dulu Baru Ditindak? Sebuah Refleksi dari Aksi Konektif Online di Ranah Offline

Oleh : Zaneti Sugiharti


Calon Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia & Pemerhati Media Sosial 


Perkembangan media sosial di Indonesia patut disyukuri telah membawa banyak perubahan positif di ranah publik. Kita tentu masih ingat bagaimana kisah Bima yang menyuarakan keluh kesahnya terkait jalanan di Lampung yang rusak. Tak lama berselang, Presiden Jokowi melakukan sidak dan mengambil alih pembangunan jalan di provinsi tersebut untuk ditangani pemerintah pusat. 


Zaneti Sugiharti

Kita juga masih ingat kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy. Netizen yang cermat mendapati dia sebagai anak seorang pejabat dengan gaya hidup hedon yang dianggap tak wajar. Kejadian itu tak hanya memberikan dampak hukum bagi Mario Dandy, namun juga berujung pemanggilan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo yang akhirnya harus dicopot dari jabatannya di Direktorat Jenderal Pajak. Kini, kasusnya bergulir terus hingga ke KPK, di mana Rafael diduga menjalankan praktik gratifikasi. 

 

Juga kasus lain di Medan dalam peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pemuda bernama Aditya Hasibuan. Kejadian ini berujung pencopotan sang ayah, Achiruddin Hasibuan dari posisinya sebagai Kabag di Direkorat Reserse Narkoba Polda Sumut. Selain dianggap melakukan pembiaran terhadap perilaku penganiayaan, Achiruddin kini harus menghadapi tuntutan lain seiring penemuan gudang solar ilegal di dekat rumahnya buntut laporan netizen yang menunggah gaya hidup hedon pejabat kepolisian tersebut. 


Itu baru tiga contoh bagaimana netizen Indonesia berhasil melakukan sebuah ‘aksi’ di media sosial yang berujung penindakan nyata. Selain lewat media sosial, tak sedikit masyarakat yang juga mengumpulkan gerakan lewat petisi di beberapa platform untuk mendapatkan dukungan publik. Sebut saja Change.org yang selama tahun 2021 saja berhasil mengumpulkan hampir satu juta petisi.

 Dalam tulisan ini, saya ingin memperlihatkan bagaimana sebuah isu bisa kemudian mencuat dan menimbulkan aksi di masyarakat di ranah online dan menimbulkan perubahan di ranah offline. 


Aksi Konektif dan Terbentuknya Pesan Viral 


Sebelum era media sosial, atau dalam konteks tradisional, masyarakat yang memiliki inisiatif tertentu untuk perubahan harus terlebih dahulu melakukan aksi terorganisir dalam sebuah kelompok untuk membuat perubahan atau mencapai tujuannya. Sebut saja melalui LSM, organisasi masyarakat dan semacamnya. 


Aktivitas itu dinamakan dengan collective action atau aksi kolektif (Olson, 1965). Kini, dengan internet dan kemunculan media sosial, masyarakat bisa melibatkan diri dalam sebuah aksi tertentu. Inilah yang disebut dengan connective action, atau aksi konektif. 


Media sosial dan perkembangannya memungkinkan seseorang membagikan pendapat kemudian menyebarkan di jaringannya, hingga kemudian mendapatkan respon dan diperluas jangkauannya oleh lebih banyak orang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Bennet & Segerberg (2012) yang kemudian menyoroti bagaimana sebuah gerakan terjadi lewat partisipasi individu secara online. Kini dengan media sosial, mereka cukup melibatkan diri sesuai dengan motivasi pribadinya dan itu bisa beragam. 


Mulai dari motiviasi personal untuk terlibat dalam perubahan, hingga pencarian eksistensi, atau fear of missing out, dan validasi eksternal. Semua sah saja dilakukan sebagai pendorong seseorang terlibat dalam sebuah aksi konektif. 


Pertanyaan selanjutnya, jika semua orang bisa mencuatkan sebuah isu dan membagikannya ke jaringannya secara online, maka mengapa dari semua isu yang muncul di masyarakat, hanya beberapa isu yang menjadi viral? Untuk menjawabnya, kita bisa melihatnya dari sudut pandang lain yakni tentang bagaimana sebuah pesan komunikasi bisa menjadi viral, yang akhirnya berujung pada perhatian publik. 


Sebuah konten menjadi viral pada dasarnya tidak berbeda dari apa yang dikonsepkan sebagai word of mouth menurut Merton (1968). Word of mouth adalah sebuah proses pengaruh personal yang lebih memberikan efek langsung, dibanding penggunaan media massa. Agar sebuah pesan bisa menjadi word of mouth, maka dibutuhkan kredibilitas sumber, kedekatan fisik dan emosional dengan penerima pesan, serta peran penengah yang mengintervensi atau menyaring pesan. 


Inilah yang terjadi pada pesan – pesan viral terkait kasus yang disebutkan di atas. Kredibilitas sumber mencakup siapa yang menyebarkan informasi tersebut, apakah dia menyampaikan fakta yang sesuai atau tidak. Kemudian, apakah sebuah isu memiliki ‘kedekatan’ secara fisik maupun emosional dengan netizen pada umumnya, dan dalam isu – isu viral, kita bisa melihat ada banyak pihak lain yang juga ikut bersuara dan memberikan pandangannya. Inilah yang kemudian memungkinkan sebuah pesan bisa mencuat lebih dominan dibandingkan pesan lain. 


Selain itu, menurut Alhabash dan McAlister (2015) ada tiga dimensi penting dalam sebuah isu yang menjadi viral diantaranya jangkauan, keterlibatan rasional dan emosional yang hadir dan diterima oleh orang lain, kemudian opini publik yang diciptakan oleh para netizen terhadap pesan tersebut. 


Jika berkaca dari konsep ini, maka apa yang terjadi dalam contoh kasus di atas sangatlah relevan dengan kondisi emosional masyarakat. Isu jalanan di Lampung yang selalu rusak, misalnya. Apa yang disampaikan oleh Bima memiliki nilai rasionalitas dan emosional yang valid untuk disetujui banyak masyarakat lainnya, khususnya warga Lampung. Tak heran jika videonya banjir dukungan sampai – sampai pemerintah akhirnya harus turun tangan. Begitupun saat netizen akhirnya membongkar gaya hidup Rafael Alun. Secara emosional, pemberitaan gaya hidup hedon pejabat di Dirjen Pajak itu sangatlah melukai hati masyarakat yang selama ini membayar pajak. 


Kini, siapapun, dari manapun bisa terhubung secara leluasa, tanpa ikatan khusus dan membentuk sebuah gerakan bersama. Media sosial bahkan menjadi sumber informasi utama dalam konteks partisipasi politik di kalangan anak muda (Vromen, Xenos, & Loader, 2014). 


Melalui media sosial, isu yang muncul di Lampung misalnya, bisa disampaikan oleh seorang pemuda di Australia dan bahkan mendapatkan dukungan dari warga negara Indonesia di berbagai daerah. Dukungan yang dimaksud, diantaranya adalah pembuatan konten yang melibatkan tagar atau hashtag, meninggalkan komentar di akun seseorang atas sebuah isu, atau sesederhana menekan tombol likes dan share sebuah informasi. 


Proses keterlibatan seseorang dengan tindakan minimal di platform media sosial dikenal juga dengan istiah clicktivism (Halupka, 2014). Sebuah aksi yang bisa dikatakan minim secara upaya, namun ternyata bisa menimbulkan sebuah perubahan. Roman dkk (2011) mengungkapkan bahwa upaya publik di media sosial dalam aksi clicktivism adalah sebuah upaya yang minim resiko, memunculkan perubahan, dan memberikan kepuasan kepada mereka yang melakukannya. 


Meski demikian, tak selamanya sebuah isu yang viral mampu menggerakkan seseorang untuk bertindak atau berpartisipasi di dalamnya. Setidaknya begitu menurut Olson (1965). Meskipun sebuah kelompok memiliki tujuan tertentu yang secara positif seharusnya menggerakkan orang untuk berkontribusi, Olson berpendapat hal tersebut tidak pasti terjadi. 


Inilah yang menarik dari aksi konektif. Meskipun mereka, para netizen yang bahkan tidak terorganisir di dalam sebuah kelompok yang memiliki tujuan tertentu, mereka secara sukarela dan dengan inisiatif sendiri terlibat dalam sebuah isu dan mendorong terbentuknya sebuah gerakan yang nyata dalam konteks offline. 


Mari kita sikapi hal ini dengan positif bahwa kini melalui media sosial masyarakat bisa memiliki sebuah kekuatan yang ‘tidak terlihat’ untuk mempengaruhi pemangku kepentingan, atau pemerintah, untuk melakukan tindakan nyata terhadap isu – isu publik yang (kebanyakan) mencederai logika dan emosional masyarakat. Patut diingat bahwa sebuah isu menjadi viral bisa jadi karena pemerintah terlambat melakukan tindakan yang seharusnya bisa dilakukan sejak awal, di mana hal tersebut menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat. 


Masyarakat berhak mengangkat isu publik yang mencederai logika dan emosi mereka lewat media sosial, dan selama yang disampaikan adalah sebuah fakta, maka pemerintah wajib hadir untuk memastikan connective action di ranah online bisa berujung perubahan di ranah offline.


Kategori : News


Editor      : AHS


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama