MAROS, suarapembaharuan.com - Gerakan Satu Masjid Satu Perpustakaan mengukuhkan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sebagai daerah pertama yang mencanangkan masjid sebagai tempat memberdayakan masyarakat dan peningkatan literasi, di samping fungsi utamanya sebagai tempat ibadah umat Muslim.
"Ini wujud nyata menjadikan Kabupaten Maros sebagai kabupaten literasi," ujar Bupati Maros AS Chaidir Syam pada kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) Perpustakaan Nasional RI bersama Ikatan Keluarga Alumni Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (IKA-BKPRMI) secara virtual, Jumat, (9/6/2023).
Gerakan ini, tambah Bupati, harus diperjuangkan karena perpustakaan saat ini tidak hanya digunakan untuk membaca namun juga untuk berkegiatan. Dengan adanya perpustakaan di masjid, diharapkan mampu lahir ide-ide cemerlang dari masyarakat yang setelah beribadah dilanjutkan membaca.
Pada kesempatan secara virtual, Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando menegaskan perpustakaan merupakan tempat belajar terbuka masyarakat yang dibantu peran aktif dari pustakawan.
Dia juga menambahkan bahwa kitab suci Al-Qu’ran memerintahkan untuk membaca karena dengan membaca manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan, sehingga akan terhindar dari ancaman kebodohan dan kemiskinan.
“Aktivitas membaca bukanlah titik. Karena setelah selesai membaca, maka proses selanjutnya manusia diperintahkan untuk melaksanakan atau menyampaikan apa yang kita tahu berdasarkan buku yang telah dibacanya,” jelas Syarif Bando.
Deputi Bidang Informasi dan Pengembangan Sistem Kearsipan Arsip Nasional RI (ANRI) Andi Kasman menambahkan dari masjid atau pondok pesantren, masyarakat akan mendapatkan ilmu-ilmu agama yang mampu membangun sumber daya manusia (SDM) yang memiliki karakter-karakter yang tangguh dan bertaqwa.
“Masjid sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai tempat ubudiyah (peribadatan), tarbiyah (pendidikan), dan ijtima’iyah (sosial kemasyarakatan),” paparnya.
Gerakan Satu Masjid Satu Perpustakaan diyakini akan berjalan optimal apabila tercipta kemudahan mengakses bahan bacaan (aksesibilitas). Namun, menurut pegiat literasi dari Sulsel, Bachtiar Adnan Kusuma, saat ini baru gerakan membaca saja yang mendominasi. Sementara untuk gerakan menulis masih ditinggalkan.
“Budaya baca dan menulis adalah senafas sejalan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dan tidak ada peradaban yang abadi kecuali yang dituliskan,” ungkapnya.
Pada kesempatan akhir, Pustakawan Utama Perpusnas, Abdullah, mengatakan masyarakat masjid terdiri dari dua komponen, yakni pengguna dan pengurus masjid.
"Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap literasi di masjid dibutuhkan aksi nyata yang inovatif dari pengurusnya," tandasnya.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar