SIMALUNGUN, suarapembaharuan.com - Sidang lanjutan kasus tudingan melakukan penipuan (pasal 378) dan pemalsuan data autentik (Pasal 266 ayat 1) yang mendera Adil Anwar alias Atek (74) dengan jawaban jaksa penuntut umum (JPU) kembali bergulir di ruang Cakra Pengadilan Negeri Simalungun, Jalan Asahan, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Senin (5/6/2023).
Dari jawaban eksepsi Penasehat Hukum (PH) Atek, JPU menyatakan penolakan. Agenda sidang mendengarkan jawaban eksepsi JPU ini dipimpin Hakim Ketua, Dr. Nurnaningsih Amriani, SH, MH dengan anggota Aries Kata Ginting, SH, dan Yudi Dharma, SH serta Panitera Pengganti, Apollo Manurung.
Menanggapi penolakan eksepsi dari JPU, PH terdakwa menyatakan hal itu merupakan bagian hak JPU. Akan tetapi, dalam sidang selanjutnya nanti, PH terdakwa berharap dan bermohon agar Hakim mengabulkan pengalihan penahanan terhadap Atek.
"Kami berharap dan bermohon agar pengalihan penahanan dan eksepsi kami dikabulkan, itu harapan kami," kata Dupa Setiawan, SH dari kantor Law Firm Effendy Sinuhaji, SE, SH, MSi, MH & Associates (ESA Law Firm) selaku PH Atek saat ditemui wartawan di kantor Pengadilan Negeri Simalungun.
Pada sidang sebelumnya, penasehat hukum Atek telah menyampaikan eksepsi atau keberatan dari JPU. Dikarenakan, PH Atek menduga kalau JPU merumuskan dakwaan terhadap Atek merupakan suatu konstruksi hukum yang dapat menyudutkan terdakwa pada posisi lemah secara yuridis.
"Karena berdasarkan pasal 143 ayat 2 KUHAP, terdapat 2 unsur yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan, yaitu syarat formil (pasal 143 ayat 2 huruf a dan pasal 143 ayat 2 huruf b). Dua unsur itu tidak ada," beber Dupa.
Selanjutnya, Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya syarat-syarat materil. "Surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau null and void, yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu," jelas Dupa.
PH dari Atek ini juga menjabarkan dalam eksepsinya bahwa dakwaan terhadap Atek keliru yang memberikan dakwaan dengan dakwaan posisi pertama pasal 378 (ancaman 4 tahun) dan memposisikan pasal 266 ayat 1 (ancaman 7 tahun) di posisi kedua.
"Seharusnya menempatkan dakwaan tindak pidana yang lebih tinggi pidananya. Dengan demikian, dakwaan yang berbentuk subsidiaritas yang melanggar sistematika yang sudah baku tersebut dianggap kacau dan menyesatkan bagi terdakwa dalam membela diri," tegasnya.
Disamping itu, sebut Dupa, masih ada upaya perdata yang diajukan oleh terdakwa Atek dan itu masih berlangsung. Sesuai Peraturan Menteri Mahkamah Agung RI No.1 tahun 1956 pasal 1 telah mengharuskan menyelesaikan masalah perdata tersebut dan menangguhkan perkara pidananya untuk menunggu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tersebut.
"Artinya pasal ini memberikan kewenangan kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan perkara pidana fan menunggu putusan Hakim Perdata dan mengesampingkan perkara pidananya," ungkap Dupa, sembari menyatakan Atek telah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke PN Simalungun dan Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten Simalungun, selaku tergugat IV terkait perkara perdata No.63/Pdt.G/2021/PN.Sim tanggal 11 Mei 2021 serta perkara perdata No.63/Pdt.G/2021/PN.Sim, tanggal 03 Oktober 2022.
Alasan lain lagi yang membuat terdakwa Atek tidak menuju unsur dakwaan yang dimaksud, papar Dupa, bahwa penerbitan SHM No.43 tanggal 15-12-1993 itu berdasarkan Surat Ukur No.1173/1993 dengan Luas 26.576 m2 dan berdasarkan SHM No. 43 yang terdaftar dan tercatat atas nama Wesly Sitomorang sebagai pemilik. "Disini Wesly Sitomorang sebagai pemohon sertifikat dan BPN Simalungun sebagai penerbit sertifikatnya," imbuh Dupa.
Menurut Dupa, apa yang dilakukan kliennya sebagai perantara dalam jual beli tanah tersebut sudah memenuhi syarat jual beli. Sebab, peralihan hak jual beli dari Wesly Sitomorang kepada Paingot Nadadap berdasarkan akte jual beli (AJB) No.47/AJB/1993 tanggal 21-12-1993. Kemudian melalui Camat Girsang Sipangan Bolon selaku PPAT dan balik nama terdaftar atas nama Paingot Nadadap sebagai pemilik.
"Disitu Wesly Sitomorang dan Paingot Nadapdap bersepakat jual beli. Kemudian Camat sebagai penerbit AJB dan BPN Simalungun untuk balik namanya," urainya.
Kemudian adanya bukti penghapusan/pelunasan hutang dan penarikan jaminan SHM yang berperkara dari Bank Mandiri No. CRO JTH/R,0677/2018 tanggal 26-10-2018.
Selanjutnya kembali lagi terjadi peralihan jual beli dari Paingot Nadadap kepada Marnaek BM Sitomorang berdasarkan AJB No.112/2018 tanggal 9-12-2018 dengan surat notaris melalui Heriana, SH, MKn selaku PPAT wilayah Simalungun serta balik nama kepada Marnaek Sitomorang sebagai pemilik.
"Hasil cek bersih sertifikat SHM No.43 tersebut tertera dengan tanda stempel BPN Simalungun dan telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di kantor pertahanan tanggal 7-1-2019 pukul 16.05 WIB.
Hingga kembali terjadi peralihan (jual beli) antara Marnaek BM Sitomorang kepada Sendi Bingei Purba Siboro berdasarkan AJB No.21/2019 tanggal 19-02-2019 melalui Heriana, SH, MKN selalu PPAT wilayah Simalungun. Dimana SHM tersebut atas nama Sendi Bingei Purba selaku pemilik.
Bukti penerimaan uang/kwitansi Penerimaan uang dari pembeli (Sendi Bingei Purba Siboro) diterima oleh penjual (Marnaek BM Sitomorang dan diketahui/disetujui istrinya, Yunita Irmala Lumban Tobing. Kwitansi pembayaran pertama senilai Rp 14 miliyar dan pembayaran kedu Rp 11.247.200.00, untuk SHM No.43 tersebut.
"Maka jelas dari uraian tersebut klien kami tidak bersalah, dan hanya sebagai perantara kedua. Jadi, dakwaan JPU atas Atek dinyatakan Batal Demi Hukum. Untuk itu kami minta Hakim mengabulkan eksepsi terdakwa Atek dan membebaskannya," pungkas Dupa.
Sebelumnya, Atek melalui kuasa hukumnya mengungkapkan bahwa kasus itu berawal dari tahun 2018. Dimana saat itu, Eri Dharma Putra (DPO) menawarkan tanah milik dan kepunyaan Paingot Dadadap kepada dirinya. Eri Dharma Putra memperoleh informasi itu dari Marnaek BM Sitomorang (meninggal sebagai terdakwa).
Tanah itu seluas 26,576m2 memiliki sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 43 dan berada di Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumut.
Saat itu, Edwin Binge Purba Siboro yang sedang mencari tanah di sekitar pinggiran Danau Toba Parapat dan memberitahukan kepada Adil Anwar alias Atek. Disitulah Atek menawarkan milik dan kepunyaan Paingot Nadadap.
Selanjutnya setelah terjadi jual beli atas tanah tersebut, Atek tidak mengetahui telah terjadi gugatan TUN terhadap SHM 43 yang dilakukan Drs. Lambok Parulian Sinaga selaku penggugat dan mengklaim memiliki tanah seluas 8.881 M2. Sedangkan luas tanah di dalam SHM 43 adalah 26.576 m2, sehingga masih ada sisa tanah seluas 17.695 m2. (ASN)
Kategori : News
Editor : AAS
Posting Komentar