Pematangsiantar - Sejumlah warga penggarap yang sampai saat ini masih bertahan di areal lahan HGU PTPN III afdeling 4 Bangun, sebenarnya sadar dan mengetahui bahwa mereka tidak memiliki hak untuk bertahan di lahan tersebut. Sebab, sedikit pun mereka tidak memiliki alas atau dasar hukum untuk bertahan di sana. Namun karena adanya pengaruh dari oknum-oknum tertentu yang memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan penguasaan lahan garapan, memaksa sebagian warga tetap bertahan.
Hal itu terungkap dari penelusuran yang dilakukan terhadap sejumlah warga yang telah meninggalkan lahan garapan setelah menerima dana Suguh Hati dari PTPN III. Mereka mengakui, sebenarnya sejak awal masuk ke areal HGU yang mereka garap maupun membeli dari pihak lain, adalah tindakan yang tidak benar. Namun karena jumlah mereka banyak, dan terbuka peluang untuk bercocok tanam, kesempatan ini mereka manfaatkan di lahan HGU.
“Lagi pula saat itu belum ada tindakan apa-apa dari pihak kebun (PTPN III), sehingga bisalah kami bercocok tanam, ubi, jagung sambil berjualan di pondok yang saya bangun,” cerita Intan boru Sianturi.
Di lahan seluas 16 x 25 Meter yang diperolehnya dengan membayar “tolak cangkul” (ganti rugi) darri penggarap sebelumnya, ia tanami ubi dan jagung, seperti juga tetangga-tetangga lainnya yang masuk ke lahan HGU.
MEMILIH SUGUH HATI
Namun begitu ada pengumuman PTPN III akan membersihkan areal HGU afdeling 4 dan akan memberikan Suguh Hati kepada warga yang ada di areal tersebut, Intan boru Sianturi langsung mendaftarkan diri.
“Tidak ada yang memaksa, saya berpikir sendiri, dan memutuskan sendiri. Bua tapa bertahan dalam posisi yang salah?” ceritanya.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan boru Hasibuan, tetangga Intan boru Sianturi. Wanita separuh baya bertubuh kecil ini, dengan terus terang mengungkapkan, memilih menerima dana Suguh Hati dari PTPN III, ketimbang bertahan di lahan garapan. “Aku ikut saja apa yang dikatakan orang kebun. Mendaftar, lalu kuterima Suguh Hati yang diberikan mereka. Selesai,” cetusnya.
Menurut mereka, sekitar 27 warga yang masih bertahan sebenarnya sudah dihantui perasaan bersalah dan was-was. Sebab, mereka semakin tersudut setelah hampir 200 penggarap lainnya di areal HGU afdeling 4 kebun Bangun itu memilih menerima Suguh Hati. “Sebenarnya apalagi yang mau dipertahankan? Tanah bukan kita punya, dan tidak mungkin bisa menjadi milik kita. Kenapa harus bersikeras? Apa ada untungnya demo-demo terus? “ tambah Intan boru Sianturi.
Seperti diungkapkan Asisten Personalia Kebun Bangun, Doni Manurung, hanya berkisar 3 hektar lagi, dari 66 hektar areal yang selama ini dikuasai penggarap yang belum dibebaskan. Dari puluhan rumah yang ada, sebagian besar juga sudah ditinggalkan pemiliknya, atau dalam keadaan kosong. Karena itu pihaknya masih terus melakukan pendekatan secara persuasif, agar warga bisa menerima Suguh Hati dari PTPN III dan meninggalkan areal HGU.
Jika tidak ada yang mempengaruhi mereka dengan iming-iming bisa menjadi pemilik lahan jika terus bertahan di sana, saya yakin tidak lama lagi seluruh penggarap yang tersisa akan segera meninggalkan lahan HGU dan menerima Suguh Hati, jelas Doni Manurung.
“Mereka kan sudah melihat, bagaimana sejumlah warga lainnya yang keluar dari HGU, ternyata bisa hidup lebih normal. Punya tempat tinggal yang terjamin, dan bisa berusaha. Bahkan lokasinya masih di sekitar Kelurahan Gurilla,” tambah Doni Manurung. **
Areal HGU PTPN III Afdeling 4 yang terus dibersihkan untuk dilakukan tanam ulang setelah dibebaskan dari warga penggarap. |
Posting Komentar