Dinamika politik Indonesia dimulai dari pertengahan tahun 2022 hingga saat ini semakin riuh menjelang Pemilu 2024. Pembahasan seputar “kekuaasaan” sepertinya selalu menarik dibahas di ex jajahan VOC yang selalu suka meneriakkan kata “merdeka”.
Sutrisno Pangaribuan. Ist |
Pertama, gerombolan yang mengatasnamakan rakyat, meneriakkan ide “inkonstitusional” penambahan periode presiden ( tiga periode ). Kedua gerombolan yang meneriakkan penambahan waktu dalam periode presiden ( lebih dari lima tahun ) dan sejalan dengan ide penundaan Pemilu.
Kemudian dilanjutkan oleh gerombolan ketiga perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Lalu yang terbaru adalah gerombolan elit desa, yakni para kepala desa ( Kades ) yang menyuarakan aspirasi revisi pada bagian “penambahan kekuasaan” yakni pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Para elit desa ini tidak mau ketinggalan dalam pembahasan terkait kekuasaan, yakni bahwa pembahasan tentang kekuasaan bukan hanya milik para elit ibu kota negara.
Seperti kata pepatah, Kata Berjawab, Gayung Bersambut; aksi para Kades ini diterima terbuka para legislator di Senayan. Wakil Ketua DPR RI/ Fraksi Gerindra Sufmi Dasco menyambut sumringah para kepala desa di depan gedung DPR RI. Ekspresi yang sama ditunjukkan oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Atgas, dan anggota Komisi II DPR RI, M Toha.
Bahkan seluruh Fraksi DPR RI pun menjadi “paduan suara” menyanyikan lagu “setuju” merespon aksi para Kades tersebut. Demikian juga Badan Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN ) Kemenkumham pun tidak mau ketinggalan, aspirasi elit desa itu dinilai sudah tepat. Bahkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ( Mendes PDTT ) mendukung penuh tuntutan para Kades tersebut.
Para kades menyatakan bahwa waktu 6 tahun sangat kurang, sebab persaingan politik para kandidat Kades akan berlangsung lama. Sementara dengan perubahan menjadi 9 tahun, para figur Cakades dapat bekerjasama.
Selain tuntutan “pasal kekuasaan” tersebut, para kades juga menebar ancaman, jika tidak direvisi, maka seluruh kades akan aksi besar- besaran di DPR RI. Selain perpanjangan waktu, para kades juga menuntut penambahan penghasilan dan tunjangan kepala desa serta perangkat desa yang bersumber dari APBN ( dana desa ).
Sehingga gaji pokok semua kepala desa di Indonesia sama dan dibayarkan pada waktu yang sama. Sementara tunjangan kinerja disesuaikan dengan beban kerja dan wilayah masing- masing.
Kemudian mereka menuntut agar para Kades dan perangkat desa mendapat asuransi kesehatan, sebab hingga saat ini delapan puluh persen ( 80% ) Kades dan perangkat desa tidak memiliki asuransi Kesehatan. Lalu para Kades juga menuntut tunjangan kerja bagi para Kades sebesar tiga persen (3%) hingga lima persen (5%) dari dana desa.
Selanjutnya para Kades menuntut dana desa menjadi sepuluh persen (10%) dari APBN setelah dikurangi subsidi dan pembayaran utang negara. Kemudian penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan dan aset desa, pembangunan desa dan kawasan desa, ketentuan desa adat, hak dan kewajiban desa serta masyarakat desa, serta pembinaan dan pengawasan.
Terkait aksi elit desa tersebut, Kongres Rakyat Nasional ( Kornas ) menyampaikan sikap dan pandangan yang diharapkan membantu publik dapat menilai persoalan ini dengan jernih, yakni:
Pertama, bahwa Kades adalah kepala pemerintahan desa yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai bagian dari pemerintahan tidak seharusnya para Kades melakukan aksi unjuk rasa menemui DPR RI. Para Kades seharusnya dapat menyampaikan aspirasi secara berjenjang melalui pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat.
Kedua, bahwa Kades dalam hal meninggalkan desa tentu harus mendapatkan izin dari pimpinannya secara berjenjang dan memberitahukan kepada badan perwakilan desa terutama jika bertindak atas nama kepala desa dan menggunakan atribut dan pakaian dinas pemerintah desa.
Pembiayaan atas tindakan aksi tersebut tidak dapat dibebankan pada anggaran desa. Aksi tersebut dipastikan tidak mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat desa, namun hanya mewakili aspirasi dan kepentingan kekuasaan elit desa ( Kades ).
Ketiga, bahwa aksi meminta perubahan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 39 ayat satu (1); Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Dan ayat dua (2); Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Menjadi Pasal 39 ayat satu (1); Kepala Desa memegang jabatan selama 9 (Sembilan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Dan ayat dua (2); Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Ide perubahan ini didorong oleh kehendak untuk berkuasa dan mengelola sumber daya desa, bukan karena kepentingan pelayanan masyarakat desa.
Keempat, Pimpinan dan Anggota DPR RI seharusnya tidak memandang para Kades sebagai rakyat biasa yang dapat menyampaikan aspirasi di jalanan. Pimpinan dan Anggota DPR RI seharusnya menolak hadir di depan gedung DPR RI sebab para Kades adalah unsur penyelenggara pemerintahan.
Sehingga tidak seenaknya melakukan aksi turun ke jalan dan meninggalkan desanya masing- masing. Pimpinan dan Anggota DPR RI semestinya melakukan rapat bersama di dalam Gedung DPR RI dengan melibatkan Kementerian Desa dan PDTT serta Kementerian Dalam Negeri. Tidak sekedar memanfaatkan panggung aksi para Kades untuk membangun pencitraan diri, lembaga DPR RI dan partai masing- masing.
Kelima, Pemerintah dan DPR RI telah menetapkan 39 RUU program legislasi nasional ( Prolegnas ) prioritas untuk tahun 2023 dan RUU Desa tidak termasuk dalam prioritas Pemerintah dan DPR RI.
Maka jika seluruh fraksi memberi angin segar untuk merespon aksi para Kades, sikap itu dipastikan hanya sekedar pencitraan semata demi kepentingan kekuasaan menjelang Pemilu 2024. Jika dalam waktu dekat, DPR RI mengubah atau menambah RUU prioritas dalam Prolegnas 2023, maka sikap itu hanya kepentingan pragmatis.
Keenam , bahwa nyanyian lagu setuju seluruh fraksi DPR RI terhadap perubahan pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa terkait perubahan masa “kekuasaan” Kades dari enam (6) menjadi Sembilan (9) tahun sebagai “ transaksi kepentingan politik” antara partai politik dan para Kades menjelang Pemilu 2024.
Jika perubahan dilakukan dalam waktu dekat, maka diyakini dalam rangka mengakomodasi kepentingan periodisasi para Kades. Sehingga pada saat Pemilu 2024, para Kades yang melakukan aksi tersebut masih berkuasa dan dapat memfasilitasi kepentingan Parpol dalam Pemilu 2024.
Ketujuh , bahwa aspirasi elit desa, para Kades untuk menambah waktu kekuasaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan semangat kembali ke orde baru.
Semangatnya sebangun dengan ide menambah periode kekuasaan presiden menjadi tiga periode atau penambahan waktu melalui penundaan Pemilu. Gagasannya juga seirama dengan pihak yang mendorong perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Kedelapan, bahwa Kongres Rakyat Nasional ( Kornas ) menolak penambahan waktu kekuasaan untuk Kades. Kornas justru mengusulkan perubahan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 39 menjadi; ayat satu (1). Kepala Desa memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Dan ayat dua (2).
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Waktunya disamakan dengan masa bakti kepala daerah dan presiden.
Kornas berharap DPR RI fokus terhadap Prolegnas prioritas tahun 2023, tidak terjebak pada kepentingan pragmatis sehingga mengakomodasi kepentingan elit desa. Para Kades diminta untuk tidak masuk perangkap elit politik Parpol dalam rangka kepentingan Pemilu 2024.
Salah satu cita- cita reformasi yang kita perjuangkan bersama dengan darah, air mata dan nyawa rakyat adalah adanya pembatasan kekuasaan. Maka jika kita masih setia pada cita- cita reformasi, kita harus konsisten menolak setiap ide, gagasan yang memberi penambahan waktu berkuasa bagi siapapun dengan alasan apapun.
Kornas meyakini kita sudah berada pada jalan yang benar menuju kemajuan Indonesia, maka setiap ada kelompok atau pihak yang hendak mengubah atau membelokkan jalan harus kita lawan.
Kornas akan memastikan Pemilu 2024 baik Pileg dan Pilpres serta Pilkada berlangsung sesuai jadwal dan tahapan yang telah disusun dan ditetapkan KPU RI dengan sistem yang sama berdasarkan konstitusi dan perangkat peraturan Pemilu. Jika ada pihak atau kelompok yang hendak mengubahnya, maka rakyat akan bersatu menolak dan melawannya. Merdeka!
Sutrisno Pangaribuan
Presidium Kongres Rakyat Nasional ( KORNAS )
Kategori : Opini
Editor : AHS
Posting Komentar