MEDAN, suarapembaharuan.com - Merawati (69) warga jalan Banten Dusun IX Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, mengaku tak terima setelah mengetahui tanahnya dicaplok atau diserobot diduga oleh para sindikat mafia tanah yang berdalihkan lahan PTPN II.
Tak langsung menyerah, Merawati melalui kuasa hukumnya dari Ardianto Coorporate Law Office melakukan langkah-langkah hukum, setelah sebelumnya melayangkan surat pengaduan masyarakat (Dumas) dan permohonan perlindungan hukum terhadap kliennya kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Kapolri, Menteri ATR/Kepala BPN RI, Kepala Staf Kepresidenan RI, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung RI, Kapolda Sumatera Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan beberapa instansi terkait lainnya.
“Kami akan terus melakukan upaya hukum, salah satunya melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Adapun proses yang harus kita lewati selaku penggugat yakni pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process,” ujar Direktur Ardianto Coorporate Law Office, Andi Ardianto melalui siaran tertulis, Jumat (27/1/2023).
Dia mengatakan, dalam hal ini pihaknya menggugat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, agar melakukan intervensi kepada pihak-pihak yang diduga terlibat dalam penyerobotan tanah milik Merawati.
Menurutnya, tanah milik Merawati yang berada di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, diserobot oleh Rakio yang kemudian berganti atas nama Aliong alias Budi Kartono tersebut, diduga adanya praktek sindikat mafia tanah.
“Tidak benar tanah milik klien kami yakni ibu Merawati diatas lahan PTPN II, karena lahan seluas bekisar 5600 meter persegi itu sudah memiliki bukti-bukti yang berkekuatan hukum tetap, salah satu diantaranya adalah adanya putusan dari Mahkamah Agung RI,” ungkap Andi.
“Kami menduga disini adanya praktek sindikat mafia tanah. Terima kasih kepada teman-teman dari pers serta masyarakat yang terus memantau perkara ini. Mohon doanya agar ibu Merawati mendapatkan keadilan dan dilindungi dari sindikat mafia tanah yang telah meresahkan masyarakat,” ujarnya kembali.
Andi mengatakan, bahwa pihaknya juga sebelumnya membuat surat terbuka melalui media massa yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) terkait dugaan mafia tanah di Desa Helvetia.
“Surat terbuka melalui media kepada pak Presiden Jokowi sudah dilakukan. Kami berharap agar ibu Merawati mendapatkan keadilan hukum yang seadil-adilnya,” harapnya.
Saat disinggung tentang Dumas yang dilayangkan kepada instansi terkait di Sumatera Utara, Andi menyayangkan tindak lanjut dari Polda Sumatera Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, hingga saat ini belum ada tanggapan.
“Sebelumnya kami sudah layangkan Dumas, akan tetapi Polda dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara belum ada tanggapan hingga saat ini. Keseriusan Polda Sumatera Utara (Sumut) dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam memberantas praktek mafia tanah jelas di pertanyakan. Mampu atau tidak aparat penegak hukum di Sumatera Utara? Masyarakat juga mempertanyakan integritas Polda Sumut,” ketusnya.
Seperti diketahui sebelumnya, bahwasanya Merawati memiliki tanah yang berada di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang seluas bekisar 5600 meter persegi tersebut, adalah berdasarkan :
Pertama, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Utara nomor 570-34/I/91 tanggal 3 Januari 1991, lahan di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli (tanah yang dimaksud) tidak termasuk dalam areal HGU PT Perkebunan IX yang saat ini disebut dengan nama PTPN II.
Kedua, Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Gubernur Sumatera Utara) nomor 593/12187 tanggal 11 Mei 1991, menegaskan kembali bahwa areal di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli itu tidak termasuk dalam sertifikat HGU, dan permohonan untuk membangun rumah karyawan PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II) diatas tanah tersebut tidak dikabulkan.
Ketiga, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tanggal 23 September 1989, yang menerangkan bahwa areal yang dimaksud tidak termasuk didalam areal PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II).
Keempat, Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Deli Serdang (Bupati Deli Serdang) tertanggal 29 Maret 1995, yang menerangkan tanah bekisar 5600 meter persegi tersebut adalah kepunyaan Merawati.
Kelima, Putusan PTUN No.86/G/2000/TUN-MDN tanggal 29 Mei 2001.
Keenam, Putusan Mahkamah Agung RI Reg.No.139 K/TUN/2002 tanggal 21 April 2004 jo. Putusan Pengadilan Tinggi TUN-Medan no.76/BDG.G.MDN/PT.TUN-MDN/2001 tanggal 19 September 2001.
Ketujuh, Surat Keterangan Tanah No.592.2/0157/II/2006 tanggal 20 Februari 2006 yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, yang diregistrasi Camat Labuhan Deli no.21/SK-LD/1991 tanggal 7 Maret 1991.
Kedelapan, Perintah Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) dari PTUN Reg. No.W2.D.AT.04.10-246/2005 tanggal 12 September 2005.
Kesembilan, Putusan Perdata Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.14/Pdt.G/2006/PN-LP tanggal 8 Januari 2007.
Kesepuluh, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.115/PDT/2008/PT.MDN tanggal 09 Juni 2008.
Kesebelas, Putusan Mahkamah Agung RI No.537 K/PDT/2011 tanggal 14 September 2011.
Oleh karena itu, masih kata Andi, sudah jelas tanah bekisar 5600 meter persegi di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, milik Merawati yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak termasuk dalam areal PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.
Tanah milik Merawati yang diperkirakan bekisar 5600 meter persegi, dicaplok atau diserobot seluas bekisar 900 meter yang dilakukan oleh Rakio dan telah terbit sertifikat hak milik (SHM) atas nama Rakio dan sekarang sudah menjadi atas nama Budi Kartono.
Tak hanya itu, Rakio memohonkan kepada PTPN II untuk membayar rumah karyawan (aset PTPN II) dengan surat keterangan no.2.5-BS/Ket/21/II/2022 ditandatangani oleh Senior Executive Vice President PTPN II yakni Syahriadi Siregar, tanggal 18 Februari 2022, yang menerangkan bahwa Rakio telah membayar ganti rugi eks HGU PTPN II nomor 2.5-BS/BA/27/II/2022 sebesar Rp3.109.260.000,- dengan luas tanah 1.888 meter persegi dan luas bangunan 84 meter persegi.
Kemudian, berdasarkan surat pernyataan penguasaan fisik ditandatangani oleh pihak Desa Helvetia yakni Komarudin yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Helvetia dan diketahui oleh Camat Labuhan Deli, tanggal 22 April 2022.
Ironisnya, Camat Labuhan Deli dalam konferensi persnya mengatakan bahwa saat itu Komarudin menjabat sebagai Plt Kepala Desa (Kades) Helvetia.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan pernyataan Agus Sailin yang mengatakan kepada wartawan, bahwa ketika itu dirinya masih menjabat sebagai Kepala Desa Helvetia.
“Plt.Kepala Desa Helvetia tidak ada, karena saat itu saya masih menjabat sebagai Kades Helvetia,” ujar Agus Sailin belum lama ini.
Lalu, dengan dasar surat pernyataan penguasaan fisik itu Rakio kemudian menggunakan jalur nominatif dalam pengurusan sertifikat hak milik.
“Disini sudah jelas adanya dugaan praktek mafia tanah, tapi kenapa Polda Sumatera Utara belum juga mengambil tindakan lebih lanjut? sebut Andi.
“Kita berharap pihak PTUN Medan dapat menyikapi hal ini secara profesional dan seadil-adilnya, agar kasus ini bisa terungkap secara jelas dan terang benderang,” pungkasnya.
Kategori : News
Editor : ARS
Kalau urusan duit semua kades hijau matanya, sampai lupa surat yg dia buat sendiri.
BalasHapusPosting Komentar