JAKARTA, suarapembaharuan.com - Majelis Masyayikh mengungkapkan sedikitnya terdapat tiga hal penting yang harus dilakukan Pondok Pesantren agar kualitas lulusan yang dihasilkan bisa disejajarkan dengan model pendidikan umum dan internasional.
Ketua Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghoffarozin (Gus Rozin) mengungkapkan ketiga hal tersebut adalah, pertama, pentingnya basis data (data base), kedua adalah Rekognisi Lulusan Pesantren dan ketiga, standarisasi sistem penjaminan mutu.
Menurut Gus Rozin, basis data sangat diperlukan untuk mengetahui secara jelas dan tepat berapa banyak jumlah pesantren, berapa jumlah santri, tenaga pendidik dan kurikulum yang diberikan.
“Paling tidak ada data yang valid dan diakui semua pihak mengenai Pesantren mulai dari jumlah pondok, santri, tenaga pengajar dan kurikulum yang diberikan. Ini penting untuk memantau kualitas dan kuantitas Pesantren yang merupakan pola pendidikan khas Indonesia,” kata Gus Rozin dalam Stakeholders Meeting Majelis Masyayikh, di Jakarta, kemarin.
Hadir dalam Stakeholders Meeting itu antara lain, Dirjen Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono, Direktur Agama, Pendidikan dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, Direktur Badan Standar, Kurikulum dan Assesmen Pendidikan Anindito Aditomo dan berbagai pejabat terkait lainnya.
Hal senada dikemukan oleh Direktur Agama, Pendidikan dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami yang mengatakan penyelarasan data penting segera dilakukan antara Bappenas, Kemenag dan Kemendikbud-Ristek agar penggunaan data ini valid dan bisa digunakan untuk beragam kepetingan.
Amich mengungkapkan, data yang diperlukan adalah hal yang sangat elementer seperti jumlah santri yang valid? Tenaga pengajar? Kurikulum yang diberikan apa?. Dan yang terpenting adalah cara melakukan akese data tersebut harus melalui satu pintu.
Penggunaan data tersebut juga wajib menggunakan metode penelitian yang juga valid. Penggunaan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) hendaknya bisa diminimalisasi,mengingat model sampling data yang dilakukan tidak memenuhi standar dan tidak mewakili kondisi yang sebenarnya.
Mengenai pendanaan Pesantren, Amich mengusulkan agar dapat diperoleh melalui penggunaan Dana Abadi Pendidikan Nasional. Menurut Amich, Dana Abadi ini 52% nya sudah dialokasikan bagi kepentingan guru dan tidak dapat diganggu.
Pesantren bisa menggunakannya, misalnya dari 20% dari sisa yang sudah tidak dapat diganggu tersebut. Metode pemberian dan pemotongan Dana Abadi ini juga wajib dilakuan dengan sangat hati-hati, karena ada banyak data pesantren yang masuk di Education Management Information System (EMIS), namun setelah di check fisik Pesantrennya tidak ada.
Amich juga mengungkapkan bahwa Kementerian PUPR juga sudah memiliki anggaran khusus untuk perbaikkan Sarana dan Prasarana Pesantren, besarnya dana jug dapat didiskusinya dengan kementerian terkait.
Perlunya dibentuk Nomor Induk Santri Nasional agar berbagai pihak mendapatkan kemudahan dalam mengetahui informasi mengenai para santri, info tersebut harus mencakup banyak hal.
Kedua, lanjut Gus Rozin adalah Rekognisi Lulusan Pesantren, dalam hal ini berarti adanya pengakuan dan penyetaraan kualitas dan kuantitas dari lulusan pesantren dengan pendidikan lainnya.
“Artinya harus ada kesetaraan antara kualitas lulusan pesantren mulai dari jenjang yang kecil hingga Mahad Aly dengan jenjang pendidikan umum lainnya yang saat ini ada di Indonesia,” jelas Gus Rozin.
Ketiga, adalah sistem penjaminan mutu, dimana pemerintah harus segera memasukkan kurikulum pendidikan Pesantren dala Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) agar mutu para santri dapat meningkat dan diakui bagi secara domestik maupun internasional.
Saat ini, berdasarkan data Kementerian Agama RI, jumlah pondok pesantren lebih dari 36.000, dengan santri lebih dari 4 juta. Masing-masing pesantren mempunyai sistem dan satu sama lain mempunyai kekhasan yang berbeda-beda.
Maka, penjaminan mutu yang dimaksud tidak melakukan penyeragaman terhadap keseluruhan pesantren. Salah satu karakteristik penting Pendidikan pesantren adalah kemandiriannya, mulai dari tata Kelola, kurikulum, sistem.
Pesantren menyelenggarakan Pendidikan formal (Pendidikan Diniyah Formal (PDF), Ula, Wustho, Ulya, Pendidikan Muadalah Ula, Wustho, Ulya dan Ma’had Aly) dan/atau Pendidikan non-formal yakni pengkajian kitab kuning. Empat satuan Pendidikan tersebut yang menjadi kewenangan Majelis Masyayikh.
Untuk menjamin mutu pendidikan di pesantren Majelis Masyayikh sebagai instrumen penting guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren memegang empat prinsip arah kebijakan Pendidikan Pesantren.
1. Pertama, fleksibilitas
Produk dan kebijakan pendidikan Pesantren yang akan ditetapkan oleh Majelis Masyayikh menganut prinsip fleksibilitas. Prinsip fleksibilitas ini untuk menjaga keragaman dan kekhasan pesantren. Karena itu, Majelis Masyayikh hanya mengatur hal-hal yang bersifat prinsip dan umum. Sementara, ketentuan teknisnya dapat disesuaikan dengan konteks masing-masing pesantren.
2. Kedua, kriteria minimal Produk dan kebijakan pendidikan Pesantren yang akan ditetapkan oleh Majelis Masyayikh menganut prinsip “minimal”, artinya, Majelis Masyayikh mengeluarkan kriteria minimal yang perlu dipenuhi oleh masing-masing pesantren. Karena bersifat “minimal”, maka pesantren tentu dapat melampaui kriteria minimal tersebut.
2. Kedua, kriteria minimal Produk dan kebijakan pendidikan Pesantren yang akan ditetapkan oleh Majelis Masyayikh menganut prinsip “minimal”, artinya, Majelis Masyayikh mengeluarkan kriteria minimal yang perlu dipenuhi oleh masing-masing pesantren. Karena bersifat “minimal”, maka pesantren tentu dapat melampaui kriteria minimal tersebut.
3. Ketiga, memberdayakan Prinsip kebijakan pendidikan Pesantren itu bersifat “memberdayakan”, bukan menghakimi dan menghukum. Dalam konteks melakukan penilaian dan evaluasi, misalnya, prinsip memberdayakan diutamakan.
Dengan prinsip memberdayakan ini, maka pesantrenpesantren yang belum mencapai kriteria minimal yang ditetapkan akan diberikan “rekomendasi” pemenuhan kriteria minimal. Karena itu, Majelis Masyayikh secara intensif akan berkoordinasi dengan Dewan Masyayikh.
4. Keempat, Akuntabilitas Kebijakan pendidikan yang akan dikeluarkan Majelis Masyayikh dilakukan secara akuntabel, melalui 1) kajian akademik, 2) diskusi dengan stakeholder, termasuk asosiasi, 3) diskusi pakar, dan 4) ujicoba. Dengan akuntabilitas ini, maka produk kebijakan Majelis Masyayikh dapat diterima dan dijalankan oleh masing-masing pesantren.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar