JAKARTA, suarapembaharuan.com - Lahir dan besar dari keluarga berkecukupan tak lantas membuat keseharian Ayuningtyas Widari Ramdhaniar bergelimang fasilitas dan kemudahan. Sejak kecil justru ia dididik mandiri dan hidup prihatin. Namun pola asuh seperti itulah yang justru membentuk jiwa empati dan simpatinya terhadap lingkungan sekitar jadi begitu tinggi.
Ayuningtyas Widari Ramdhaniar. Ist |
Mengesampingkan gelar kebangsawanan, ia begitu total dalam melayani masyarakat. Ia bahkan menginisiasi terbentuknya yayasan sosial yang mengkolaborasikan beberapa perusahaan untuk menyalurkan dana CSR mereka untuk kegiatan sosial yang berdampak pada masyarakat luas. Tujuannya hanya satu, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pahala jariah lewat legacy mulia.
Dalam interaksi antar sesama manusia sehari-hari, sekurang-kurangnya ada tiga model yang berkembang di masyarakat. Pertama, keberadaan seseorang bisa membuat susah orang lain dan ketiadaannya membuat bahagia orang di sekitarnya. Kedua, kehadiran dan kepergian seseorang tidak terasa manfaatnya dan ketiga, keberadaan orang tersebut membuat bahagia dan kepergiannya dirindukan.
Model ketiga inilah yang ingin diraih Ayuningtyas Widari Ramdhaniar. Perempuan cantik yang akrab disapa Tyas ini ingin hidupnya bermanfaat bagi masyarakat luas. Jiwa empati dan simpati yang memang terasah sejak dini, secara tidak langsung membentuk pembawaan perempuan berdarah Sunda ini jadi mudah tersentuh dengan kesusahaan yang dialami orang lain.
Kini Ayuningtyas Widari Ramdhaniar menghabiskan waktunya untuk mengentaskan kemiskinan dengan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yakni ketahanan pangan.
Kenapa tertarik dengan isu pangan?
Karena faktanya, jutaan orang di seluruh dunia tidak mampu membeli makanan sehat, menempatkan mereka pada risiko tinggi kerawanan pangan dan kekurangan gizi. Tetapi mengakhiri kelaparan bukan hanya tentang pasokan. Namun, apakah makanan yang diproduksi hari ini cukup untuk memberi makan semua orang di Dunia?
Seperti di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, angka prevalensi ketidakcukupan pangan (Prevalence of Undernourishment (PoU)) nasional tahun 2021 sebesar 8,49%. Angka tersebut naik 0,15 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,34%. Angka PoU sebenarnya sudah menunjukkan adanya perbaikan pada 2018 dan 2019, tetapi meningkat kembali pada 2020 akibat efek pandemi.
Peningkatan kekurangan pangan pada 2021 juga sejalan dengan peningkatan angka kemiskinan yang mencapai 9,71% pada tahun 2021. Menurut BPS, prevalensi ketidakcukupan pangan merupakan suatu kondisi di mana seseorang, secara regular, mengkonsumsi jumlah makanan yang tidak cukup untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif, dan sehat.
Semakin tinggi prevalensi ketidakcukupan pangan, maka semakin tinggi pula persentase penduduk yang mengkonsumsi makanan, tetapi kurang dari kebutuhan energinya. Indikator ini juga dapat menggambarkan perubahan ketersediaan makanan dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses makanan.
Isu pangan merupakan isu yang berkaitan dengan isu SDGs dinomor sebelumnya yaitu tanpa kemiskinan, karena orang yang miskin sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dan makanan yang sehat maka mereka berada ditempat yang memiliki risiko tinggi kerawanan pangan dan kekurangan gizi.
Hal itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada diri seorang manusia yang tidak dapat dikurangi apalagi dicabut dan persoalan kekurangan pangan dan gizi yang sehat bukan hanya soal angka statistik karena sekecil apapun angka statistiknya didalamnya terdapat persoalan manusia yang terancam hidupnya.
Dunia globalisasi kita adalah dunia di mana ekonomi, budaya, dan populasi kita menjadi semakin saling berhubungan. Beberapa dari kita mungkin memiliki kehidupan yang rentan karena siapa kita atau di mana kita tinggal, tetapi kenyataannya adalah kita semua rapuh. Karena ketika seseorang tertinggal, sebuah rantai pun telah putus. Ini tidak hanya berdampak pada kehidupan orang itu, tetapi juga kehidupan kita.
Dalam menghadapi krisis global, solusi global dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Dengan menargetkan produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik, kita dapat mengubah sistem pangan pertanian dan membangun ke depan dengan lebih baik dengan menerapkan solusi berkelanjutan dan holistik yang mempertimbangkan pembangunan dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan ketahanan yang lebih besar.
Sudah berapa lama concern terhadap isu ini dan apa yang telah dilakukan?
Sejak kecil sebenarnya namun saat itu kan belum memahami konsep akademisnya ya jadi masih global saja bahwa sekitar kita harus dibantu perkara gizi yang lebih baik. Orang tua selalu mengajarkan setiap mereka habis gajian membelikan makanan sehat seperti susu, beras, telur, mie, kecap, saus, minyak di beberapa goodie bag untuk dibagikan ke orang yang memiliki kerawanan tinggi terhadap kekurangan gizi.
Saya mulai mengkampanyekan lagi isu pangan sejak 2014 dan mulai aktif dalam kegiatan sosial organisasi-organisasi yang saya ikuti. Namun sejak pandemi 2020 kemarin lebih terasa bahwa SDGs nomor 2 ini tanpa kelaparan dimana targetnya adalah menghilangkan kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang.
Khususnya orang miskin dan mereka yang berada dalam kondisi rentan termasuk bayi, terhadap makanan yang aman, bergizi, dan cukup sepanjang tahun sangat terlihat samar mengingat bantuan sosial banyak yang dikorupsi bahkan oleh orang-orang di pemerintahannya.
Kemarin pada saat hari pangan sedunia saya berkunjung ke Kabupaten Subang berbincang mengenai ketahanan pangan di Subang selaku lumbung pangan nasional dan jawa barat juga melihat bagaimana mesin yang luar biasa hebat yang didapat dari bantuan komisi IV untuk mengolah menjadi beras, itu luar biasa karena tidak semua kelompok tani mendapatkan bantuan seperti itu.
Mengingat pada 2030 kita harus mampu menggandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen makanan skala kecil. Saya juga berkunjung ke PLUT (Pusat Layanan Usaha Terpadu) KUMKM Kabupaten Subang, bertukar ilmu dan pengetahuan serta informasi apa yang dapat kita lakukan kedepan untuk dapat memajukan UMKM terhadap akses yang lebih baik sehingga lebih produktif dan memiliki peluang nilai tambah.
Kami juga berbincang bagaimana Kabupaten Subang mengatasi stunting karena target 2023 ditetapkan zero stunting, dan cukup menarik karena mereka mengangkat anak untuk diberikan gizi yang lebih baik, kepada daerah dan ketua DPRD nya sendiri mengambil 4 anak untuk diangkat dan dipastikan gizi yang diterima mereka lebih baik.
Apa pembelajaran yang perlu diperbaiki?
Belum optimalnya Pemberdayaan kelembagaan pangan; Belum optimalnya Pemanfaatan sumber daya pangan lokal; Belum optimalnya ekstensifikasi dan diversifikasi pangan masyarakat; Belum optimalnya Pengembangan sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan (yang meliputi aspek input, ketersediaan, distribusi dan konsumsi).
Tindakan yang kita lakukan hari ini adalah masa depan kita, jadi kita harus menentukan apa yang akan diperbaiki, mulai darimana, dan dengan cara seperti apa yang akan menentukan semua yang perlu diperbaiki ini mampu untuk diperbaiki.
Dimana crucial isuenya?
Persoalannya adalah akses dan ketersediaan pangan bergizi yang semakin terhambat oleh berbagai tantangan antara lain pandemi COVID-19, konflik, perubahan iklim, ketimpangan, kenaikan harga, dan ketegangan internasional. Orang-orang di seluruh dunia menderita efek domino dari tantangan yang tidak mengenal batas.
Menurut lembaga PBB FAO bahwa di seluruh dunia, lebih dari 80 persen orang miskin ekstrim tinggal di daerah pedesaan dan banyak yang bergantung pada pertanian dan sumber daya alam untuk kehidupan mereka.
Mereka biasanya paling terpukul oleh bencana alam dan kesalahan oleh prilaku manusianya sendiri dan sering terpinggirkan karena jenis kelamin, asal etnis, atau status mereka. Ini adalah perjuangan bagi mereka untuk mendapatkan akses ke pelatihan, keuangan, inovasi dan teknologi.
Pencapaian tujuan mengakhiri kelaparan ini membutuhkan akses yang lebih baik terhadap pangan dan ajakan budidaya pertanian secara luas berkelanjutan. Hal tersebut mencakup pengembangan produktifitas dan pemasukan petani kecil dengan mendorong kesamaan luas lahan, teknologi dan penjualan, sistem produksi pangan yang berkelanjutan, dan budi daya yang terus menerus.
Empat edisi terakhir The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) mengungkapkan kenyataan yang merendahkan, yaitu Dunia secara umum belum mengalami kemajuan baik dalam memastikan akses ke pangan yang aman, bergizi dan cukup bagi semua orang sepanjang tahun (Target SDG 2.1), atau untuk memberantas segala bentuk kekurangan gizi (Target SDG 2.2).
Konflik, variabilitas dan ekstrem iklim, serta perlambatan dan kemerosotan ekonomi adalah pendorong utama memperlambat kemajuan, terutama di tempat yang ketimpangannya tinggi. Pandemi COVID-19 membuat jalur menuju SDG2 semakin terjal.
Jadi, jika dunia berada pada titik kritis, di mana posisi kita sekarang? Dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu kita membangun ke depan dengan lebih baik dan menempatkan kita di jalur yang tepat untuk mencapai Zero Hunger?
Dunia yang berkelanjutan adalah dunia di mana semua orang diperhitungkan. Pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil serta individu perlu bekerja sama dalam solidaritas untuk memprioritaskan hak semua orang atas pangan, gizi, perdamaian, dan kesetaraan.
Memang, setiap dari kita, termasuk kaum muda, dapat bekerja menuju masa depan yang inklusif dan berkelanjutan, menunjukkan empati dan kebaikan yang lebih besar dalam tindakan kita.
Kita semua harus menjadi perubahan. Ayuningtyas Widari Ramdhaniar kelahiran tanah sunda ini yang dekat dengan Subang tepatnya di Kuningan sangat peduli bagaimana setiap orang di Indonesia memiliki ketahanan pangan yang baik untuk menuju sehidupan sehatnya.
Untuk mencapainya ia mengajak seluruh pihak untuk berkolaborasi untuk memberikan akses yang lebih baik terhadap pangan dan ajakan budi daya pertanian secara luas berkelanjutan.
Kategori : News
Esitor : AHS
Posting Komentar