JAKARTA, suarapembaharuan.com - Yayasan Indonesia Mengajar baru saja merampungkan Konferensi Pendidikan di Indonesia Timur, yang dihelat dua hari di Gedung A Kemendikbud, Jakarta sejak Sabtu - Minggu, (24-25/2022).
Acara ini dibuat untuk menampik stigma negatif soal pendidikan di Timur Indonesia, sekaligus melahirkan solusi konkret, kiat, tips dan rekomendasi bersama dari para relawan yang mengabdikan diri selama setahun penuh di pelosok daerah menjadi guru, pengajar untuk anak-anak Indonesia Timur.
Indonesia Timur yang merujuk pada NTT, Maluku dan Papua, sudah terstigma minus dari fasilitas, sarana prasarana, karakter orang yang keras dan menakutkan, menegangkan dengan konflik dan kurang diperhatikan. Anak-anak disana juga banyak yang putus sekolah karena masalah ekonomi, dan harus membantu keluarga mencari nafkah.
Hal tersebut tentu saja menjadi benang kusut yang harus diurai dan dikerjakan satu demi satu, oleh siapa saja, termasuk relawan Indonesia Mengajar yang selama 12 tahun ini membantu dengan segala yang mereka bisa, dengan akomodasi dan bekal yang seadanya, dan tak boleh pulang sebelum purnatugas setahun penuh.
Itu termasuk Yogi Adjie Driantama saat ditemui di lokasi kegiatan ini. Yogi menjadi salah satu tamu yang inspiratif, sosok yang peduli dan mengabdikan hidupnya untuk pendidikan anak bangsa Indonesia.
Yogi mendirikan sebuah sekolah untuk anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah atau putus sekolah karena berbagai hal, seperti finansial, keadaan keluarga sampai dengan anak-anak yang pernah terlibat masalah hukum. Sekolah itu ada dan lahir dari pengalaman traumatis Yogi yang pernah putus sekolah karena masalah finansial.
"Berdasarkan pengalaman pribadi, dimana dahulu saya putus sekolah kemudian memilih bekerja serabutan. Setelah itu, saya melihat banyak juga anak-anak yang putus sekolah formal karena berbagai hal, yang pada akhirnya mereka tidak bisa memilih pekerjaan dengan baik. Sampai di tahun 2018 akhirnya saya memutuskan untuk resign dari tempat saya bekerja, kemudian saya inisiatif untuk menggunakan sedikit tabungan saya dan mendirikan sekolah untuk anak-anak putus sekolah," cerita Yogi.
Sekolah gratis yang didirikan Yogi Adjie Driantama selaku Founder & Director, berada di Kota Medan. Ya, ia diundang sebagai tamu inspiratif yang bisa dicontoh para relawan Indonesia Mengajar untuk bisa mengaplikasikannya di belahan Timur Indonesia.
Salah satu alasan Yogi menginisiasi ini semua adalah karena Kota Medan memuliki angka anak putus sekolah yang cukup tinggi.
"Pada tahun kedua sekolah ini berdiri, kami memutuskan untuk bisa menerima anak dari setiap provinsi, untuk anak yang memang ingin melanjutkan sekolah formalnya. Dimana di setiap kota kami juga mempunyai relawan yang nantinya mereka akan melakukan interview ataupun seleksi untuk mengecek keseriusan atau minat anak tersebut untuk melanjutkan sekolah lagi. Untuk yang lulus, nantinya akan dikirim ke Medan untuk sekolah. Disana kami menyiapkam asrama untuk mereka, dan mereka tidak dipungut biaya, makan dan sebagaianya telah kami sediakan," sambung Yogi.
"Untuk mendaftar, syarat utamanya kami melihat dari faktor usia, dimana minimal 17 sampai dengan 25 tahun. Kami memilih umur segitu karena umur segitu merupakan usia produktif yang dimana kami sendiri membuka pelajaran di bidang basic kreatif dan bidang teknologi, desain komunikasi visual.
Harapannya, anak-anak ini akan memiliki perkerjaan yang layak, dengan base on skill yang kita ajarkan. Selanjutnya yaitu harus anak yang putus sekolah, dan dari anak yang kurang mampu," terang Yogi.
Jika tertarik dengan aktivitas dan syarat bergabung dengan Yogi di Semut Semut, bisa melalui website semutsemut.org atau sosial media instagram @semutsemut
Sedangkan untuk kamu yang berada di daerah Medan, kamu bisa langsung datang ke Jln. Hamonika Baru Ambasador Residance No.13.
Selain menghadirkan sosok inspiratif, Konfenresi Pendidikan di Indonesia Timur juga mensimulasi kegiatan-kegiatan inspiratif untuk anak anak Indonesia, salah satunya melalui Komunitas Tembokpedia.
Tembokpedia sendiri merupakan komunitas yang dinaungi oleh Indonesia Mengajar. Dalam komintas ini, terselenggara berbagai acara edukatif, khususnya menggambar dengan kreasi di tembok atapun di spot-spot tertentu.
Tembokpedia hadir menjadi wadah para anak muda untuk lebih peduli terhadap lingkungan, kreatif dalam mengembangkan ide yang dituang melalui seni menggambar ataupun mewarnai.
Tembokpedia sendiri cukup positif dan ispiratif karena bisa membuat anak lebih kreatif, komunikatif bersosialisai dan betanggung jawab.
"Pasti pernah kita melihat tembok-tembok di jalan yang digambar sesuka hati, mulai dari kata-kata kasar, ujaran kebencian sampai dengan gambar tak senonoh pun terkadang dapat dijumpai di jalan. Lebih parahnya, terkadang gambar atau coretan tersebut tidak sesuai dengan tempat atau semena-mena," buka Tri Widyastuti, relawan komunitas Tembokpedia.
Yap, Tembokpedia merupakan gerakan kerelawanan yang bertujuan untuk mengasah kreatifitas anak-anak dengan mewarnai atau menggambar.
"Saat kami ingin mengadakan suatu acara, kami akan melakukan pendalama atau mencari isue, seperti jika anak-anak di daerah tersebut lebih suka bermain HP lalu malas belajar. Dan setelah itu, kita akan mengajak untuk mereka mau berkontribusi mau aktif dan belajar bersama," jelas Wiwid.
Komunitas Tembokpedia sendiri saat ini sudah berada di 11 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Tangerang, Bekasi, Sumedang, Makassar, Konawe, Pontianak, Temanggung, Jombang, dan Sula di kepulauan Maluku Utara.
Komunitas Tembokpedia membuka pintu untuk siapa saja yang ingin menjadi anggota, dapat mendaftar melalui sosial media instagram @tembokpedia.id.
Konferensi Pendidikan di Indonesia Timur yang menghadirkan para alumni dan relawan Indonesia Mengajar yang bertugas di NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat ini mempertemukan mereka semua yang sevisi, semisi dan sehati dalam satu ruang bersama yang sangat akrab. Mereka selama ini tak bersua secara fisik, tapi terus sehati dengan cinta yang satu dan sama.
Uniknya, selama kegitan ini, para peserta memakai dresscode dengan irama kain tenun beragam motif, pola dan jahitan. Mereka megalungkan leher dengan selempang tenun, yang adalah kenang-kenangan dari tempat mereka mengabdi selama setahun tanpa pulang kampung dan tanpa dibayar itu.
Konferensi ini juga menjadi "Timur Banget", karena sepanjang acara terus diputar musik dan lagu-lagu dari NTT, Maluku dan Papua, dengan genre beragam dan kekinian.
Hebatnya, hanya beberapa dari mereka yang berasal dari Indonesia Timur. Kebanyakan mereka dari luar tiga daerah tadi. Potret yang unik bukan?
Maka, tepat bila Hikmat Hardono, Ketua Yayasan Indonesia Mengajar mengharapkan api semangat dan abdi ini harus tetap dan terus menyala.
"Indonesia Timur punya banyak persoalan. Kami berharap, kami dapat mendengar dan berbagi untuk dapat bersama-sama memajukan pendidikan di setiap daerah. Kami berharap juga, para pendidik lebih kuat dan lebih berani dalam mendidik setiap anak bangsa Indonesia, khususnya di belahan Timur ini," harap Hikmat.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar