Being a good police officer is one of the most difficult, dangerous, idealistic jobs in the world (Thomas Hauser)
Robert Bala |
Tidak bisa disangkal, kasus Sambo begitu menyita perhatian publik. Secepat kilat, wajah 434.135 orang (data 2021) itu seakan semuanya ikut tercoreng akibat‘kegenitan’ Sambo. Panorama kelam menghadang hingga membenarkan kata-kata Hauser: menjadi polisi yang baik menjadi hal yang paling sulit, berbahaya, dan sangat idealistis, jauh dari kenyataan.
Pandangan suram seperti ini bukan hal baru dalam dunia kepolisian. Dalam sebuah penelitian (2008)tentang persepsi tentang polisi di Amerika Latin, ditemukan fakta yang mencenangkan demikian tulis Adriana Beltrán. Dalam bukunya The Captive State. Organized Crime and Human Rights in Latin America, 2007, ia mengungkapkan bahwa 44 % dari warga yang diwawancarai di 21 negara, percaya bahwa polisi terlibat dalam setiap aksi kejahatan. Hanya 38 % yang mengatakan polisi melindungi masyarakat. 18% mengatakan bahwa polisi tidak melindungi juga tidak terlibat dalam aksi kejahatan.
Kondisi ini ternyata lebih menyeramkan di beberapa negara. Brasil, Honduras, Salvador misalnya, memiliki persepsi tentang keterlibatan polisi dalam kejahatan mencapai hampir 50%. Peru, Republik Dominicana, Ecuador, Meksiko, dan Paraguay mendekati 60%. Sementara Argentina, Bolivia, dan terutama Venezuela dan Guatemala, memiliki perspektif terburuk tentang polisi. Mungkin karena itu, Algee Smith, aktor dan penyanyi dengan tegas mengatakan, kebrutalan polisi masih sangat hidup dan aktif.
Untuk Indonesia, mungkin kita bisa menghibur diri. Rapor kinerja polisi yang dirilis hanya seminggu sebelum terbunuhnya Brigadir J (1/7), masih menempatkan kinerja polisi mencapai 76%. Itulah Indonesia Indicator yang melakukan riset atas pemberitaan di media massa dan media sosial pada Januari – Juni 2022.
Tetapi apakah persepsi itu masih bertahan pasca ‘polisinya’para polisi terlibat merekayasa sebuah kasus pembunuhan? Atau apakah upaya berjamaah menutup kasus tidak menjadi alasan untuk menggeneralisasi bahwa memang polisi itu begitu? Atau apakah kalau diadakan penelitian kembali, persepsi polisi masih tinggi ataukah sudah melorot jauh?
Kita tidak perlu mereka-reka. Fakta, kasus yang terjadi oleh oknum tertentu itu sangat memengaruhi publik. Ia juga menjadi topik obrolan yang tidak ada habisnya. Singkatnya, kasus itu menjadi seperti asap tebal yang sudah mengepul. Kalam dalam instrument meredam kekerasan yang biasa digunakan polisi, kejaian yang menmpar polisi (dan masyarakat) itu tidak bedanya dengan ‘smoke graenade’alias granat asap.
Granat ini dalam dunia kepolisian memang hanya digunakan dalam situasi darurat mulai dari kejahatan berekskalasi tinggi. Tetapi bila dikaitkan dengan game eSports PUBG Mobile yang antara lain digunakan untuk mengalabui musuh, membantu berpindah tempat, atau menutup diri. Hal itu mengingatkan, kasus Sambo tidak bedanya dengan tabung asap.
Menumbuhkan Asa
Apakah masaih ada asa di balik asap yang menimpa polisi kini? Apakah naluri tumpul terkspresi dari aksi kriminal membunuh itu masih bisa terasah kembali?
Pertama, harus diakui, kasus kejahatan yang dalamnya polisi terlibat, demikian Barómetro de las Américas por LAPOP y PNUD, Laporan Pembangunan Manusia 2007/2008 memiliki dampak yang besar terhadap masyarakat. Karena itu bila kasus Sambo menjadi perhatian publik, hal itu bukan saja oleh parahnya rekayasa kasus itu, tetapi terutama karena di ujungnya yang tengah dipertaruhkan demokrasi kita.
Ada keyakinan, terwujudnya demokrasi akan terwujud kalau disertai ‘law enforcement’ (penegakkan hukum). Di sana semua orang bebas berpendapat, tetapi ada juga batasan yang harus dihargai. Di sinilah fungsi polisi penegakkan hukum (law enforcement). Tetapi agar tugas itu terwujud, polisi perlu mendengar kata-kata Earl Warren: The police must obey the law while enforcing the law. Sebelum menjadi penegak, ia harus terlebih dahulu menjadi contoh untuk taat pada hukum.
Hal seperti ini barangkali yang tersibak di balik kasus besar yang terjadi. Polisi ibarat air diharapkan bersih sehingga ia bisa membersihkan segala kekotoran. Tetapi bila air yang digunakan kotor, maka niscaya akan sanggup membersihkan apapun karena ia membawa kekotoran dalam dirinya sebagai pemicu dan barangkali juga penyebab.
Kedua, begitu bersarnya perhatian publik pada kasus yang menimpa polisi tidak bukan pertama-tama karena kasusnya yang ‘seksi’. Tidak. Dalam aneka penyibakan berbagai kasus, faktor yang paling menentukan adalah tingkat pendidikan masyarakat. Itulah yang bisa dipahami, mengapa sejak awal, masyarakat terdidik telah mencium adanya kebobrokan. Mereka konsisten untuk mengatakan hal bertentangan dengan informasi dari pejabat kepolisian.
Penegasan ini sejalan dengan apa yagn diungkapkan oleh Adam Przeworski, Michael Alvarez, Jose Antonio Cheibub y Fernando Limongi. Dalam bukunya: Democracy and Development. Political Institutions and Well‐Being in the World, 1950‐1990, (2000) mereka menekankan bahwa tingkatan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat dapat berimbas positif dalam mengontrol perilaku polisi agar tidak menjadi liar.
Makanya yang perlu mendapat apresiasi bukan polisi yang mereformasi diri tetapi justr umasyarakat yang oleh pendidikannya ingin membaharui polisi. Momen seperti inilah yang perlu dimanfaatkan untuk perbaikan kepolisian ke depannya.
Ketiga, di balik kasus yang menimpa polisi sebenarnya terimplisit sebuah panggilan, demikian Emil Cioran. Ia sebenarnya hanya menekankan bahwa setiap konflik dengan polisi menyimpan kebenaran di baliknya. Karena itu ia dengan tegas mengatakan bahwa kebenaran dimulai dengan konflik dengan polisi dan diakhiri dengan memanggil mereka.
Artinya konflik yang terjadi mestinya tidak menjadi alasan untuk mencemohi atau mencibiri polisi sebagai korps. Tidak. Pembaharuan terbaik terhadap polisi adalam melibatkan mereka: Truths begin by a conflict with the police - and end by calling them in.
Robert Bala bekerja pada Adrianus Noe Center, Lembaga Penghargaan Hoegeng.
Posting Komentar