CIREBON, suarapembaharuan.com - Sejarah selalu menarik untuk dipelajari, karena sejarah selalu terulang kembali. Begitu juga dengan kepemimpinan, dari masa ke masa setiap kepemimpinan selalu mengalami tantangan dan masalah masalah yang harus di pecahkan.
Dalam rangka mengisi masa kepengurusan di masjid Raya At Taqwa yang akan segera berakhir, seiring dengan dekatnya pemilihan pemimpin daerah dan nasional, maka saya berharap tentunya dari kami Pengurus Masjid Raya At Taqwa Cirebon bisa memberikan satu masukan kepada para calon pemimpin tersebut tentang kepemimpinan, berdasarkan seri kajian tematik tentang kepemimpinan yang di adakan di masjid ini.
Demikian uraian Ketua Bidang Kajian Islam, Masjid at Taqwa drh. H. R. Bambang Irianto, BA ketika membuka diskusi tematik kepemimpinan pertama kali pada tanggal 25 Juni 2022, di Masjid Raya At Taqwa, Cirebon dengan mengusung thema “Keteladanan Kepemimpinam Sunam Gunung Jati".
Sebagai penyaji materi hari itu adalah H. Sariat Arifia, peneliti dan penulis buku Fatahillah,”Panglima Aliansi Nusantara” (bersama Mukhtar Zaedin), dengan tema Sunan Gunung Jati, kepemimpinan yang membawa perubahan yang dilambangkan dengan kalimat tagline Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajuq lan Fakir Miskin” yang sudah sangat mashyur.
Kepemimpinan Sunan Gunung jati, layak dibahas dan di adopsi mengingat, salah satu pokok persoalan Jawa Barat yang makmur saat ini adalah tingkat kemiskinan Jawa Barat yang signifikan dengan jumlah kurang lebih 4 juta orang masih termasuk miskin , dan termasuk juga didalamnya terdapat 17 kabupaten yang memiliki kemiskinan ekstrim. Bahkan kabupaten Cirebon juga masih masuk di dalam daftar tersebut.
Kisah kisah mistik yang di tumbuh kembangkan di kalangan masyarakat, sebenarnya menutupi peran sesungguhnya Sunan Gunung jati yang berperan besar dalam membangun Kota Cirebon. Riwayat riwayat kemahsyurannya sebagai bagian dari keluarga Dinasti Mamluk, Mesir, dan juga lawatan lawatan perjalanannya ke banyak negara termasuk ke Tiongkok, merupakan satu tanda bukti, bahwa Sunan Gunung Jati memiliki akses ke episentrum-episentrum dunia pada masanya.
Dengan berbekal itu kemudian, Sunan Gunung Jati melakukan konektivitas perdangan internasional tersebut dengan Cirebon, dan juga melakukan integrasi pembangunan Pelabuhan Cirebon dengan agro Industri, di mana pada saat itu salah satu hasil bumi andalannya adalah beras, kayu jati yang digunakan sebagai bahan pembuatan perahu bahkan masjid - masjid dan bangunan - bangunan, kemudian juga nirah.
Salah satu tokoh yang terkenal yang memegang pengelolaan sumber beras besar adalah Nyimas Gandasari yang berasal dari Pasai, dikabarkan memiliki kekerabatan dengan Fatahillah. Sementara komoditas Nirah, dikelola oleh Pangeran Cakra buana.
Pembangunan dari sebuah desa menjadi kota baru, apalagi terkoneksi dengan mata rantai perdagangan internasional tidak Mudah. Sama halnya seperti kita menyaksikan pembangunan ibukota baru, IKN Nusantara sekarang.
Dana yang di butuhkan mencapai 500 trilyun, dan tidak hanya itu saja, tapi Seorang pemimpin seperti presiden harus bekerja kesana kemari, ke jaringan dunia agar tempat ini bisa dikunjungi dan terhubung dengan peradaban dunia luar.
Inilah peranan Sunan Gunung jati pada masanya, yang menghubungkan Cirebon dengan Gresik, Maluku, Pasai hingga ke Cina dan Gujarat. Sunan gunung jati bersama sama dengan jaringan pemimpin Islam pada masanya, seperti Raden Patah dari Demak, dan juga Kesultanan Pasai dan Maluku menjadi satu bagian dari jaringan rempah rempah.
Kualitas etos kerja Sunan Gunung Jati ini, sekaligus juga diimbangi dengan kualitas spirtualismenya yang memiliki Etik dan Perilaku yang memukau sehingga di beri gelar dan terkenal sebagai Insanul Kamil.
Puji - pujian dan ajarannya ini tersurat dan terkandung di dalam tarekat tarekat yang kemudian mengalir setelah masa Sunan Gunung Jati, dimana kemudian para pengikutnya, yang masih terus ada sampai sekarang terus berupaya untuk dapat mengikuti jejaknya sebagai satu standar Pemimpin yang layak untuk diteladani.
Secara teoritik, kepemimpinan transformational adalah kepemimpinan yang bisa memberikan perubahan baik kepada seorang individu maupun sistem sosial.
Pemimpin seperti ini biasanya menciptakan nilai dan perubahan positif bagi para pengikutnya dengan memberikan “Frase tujuan akhir” dan menciptakan para pengikutnya menjadi pemimpin juga, kepemimpinan transformational juga meningkatkan motivasi, meningkatkan standar moral dan juga kinerja para pengikutnya. Tidak ada kata hanya duduk berdiam dan tidak memiliki tujuan ke depan.
Hal ini ditunjukkan oleh Sunan Gunung Jati, dengan capaian binaan orang orang yang berada di dekatnya antara lain seperti Raden Sepat, Sunan kalijaga, Sultan Trenggono, Adipati keling, Fatahillah dan Sultan Hasanuddin , yang bisa tampil pada jamannya untuk berprestasi untuk memiliki perannya dan dalam koridornya masing masing.
Sejarah mencatat, di tangan Sunan Gunung Jatilah persatuan Nusantara itu terjadi, semua bersatu padu melawan penjajahan Portugis yang mencoba mencengkramkan kukunya di tanah Jawa dengan panglimanya Fatahillah atau Fadhillah Khan.
Dalam paparannya, H. Sariat Arifia, juga menegaskan bahwa kesuksesan kepemimpinan Sunan Gunung Jati adalah karena memperhatikan para fakir miskin.
Sunan Gunung jati memerangi kemiskinan dengan antaranya membuka peluang kerja sebesar besarnya dengan mengajarkan sistem irigasi yang baik, pembukaan lahan dan seterusnya.
Pada realitanya, sampai hari ini walau Sunan Gunung Jati telah wafat, keberadaanya mampu memberikan kontribusi ekonomi secara positif kepada ribuan orang dan keluarga.
Salah satu kepemimpinan khas Sunan Gunung Jati dari sisi lain yakni, pangkat, jabatan dan bahkan kekayaan yang dimilikinya tidak menempel di hatinya.
Hal ini tergambar jelas, sebagaimana yang dilukiskan oleh Al Ghazali, bahwa hati itu cermin dan hanya cermin yang bersih itulah yang akan menangkap cahaya Illahi dan akan memantulkan cahaya itu ke sekitarnya.
Sunan Gunung Jati menjadi tanda bukti apa yang di katakan oleh Al Ghazali, ia menangkap cahaya ilahi dan memantulkannya kepada banyak orang.
Moderator acara tersebut Dr. Hajam Mag, Dekan FUAD IAIN Sunan Gunung Jati juga mengungkapkan sisi sisi ajaran Sunan Gunung Jati, yang dirasakan berkaitan dengan ajaran ajaran Ibnu Araby yakni kewalian, Kerasulan dan kenabian.
Sementara dalam praktek sosialnya, Sunan Gunung Jati, menggunakan 3 strategi yakni, sebagai imam, khalifah dan juga sebagai Ulil Amri. Seluruh peran ini di jalankan dalam kurang lebih 89 tahun sehingga memperkuat eksistensi Sunan Gunung Jati khususnya di Cirebon dan tatar Sunda dan lebih lebih lagi di seluruh Indonesia.
Diskusi kemudian berjalan lebih seru lagi dengan pengungkapan pengungkapan yang lebih dalam dari Drh. Bambang Irianto yang juga merupakan Mursyid Syattariyah, secara gamblang Drh Bambang mengungkapkan ajaran sunan Gunung Jati, yang di dalamnya juga terdapat tingkatan tingkatan dalam hati.
Manusia tidak cukup hanya mengolah pikirnya saja, namun hatinya. Karena di dalam hati itulah manusia bisa menemukan kemanusiannya. Di dalam hati itu, ada tingkatan tingkatannya dimana diantaranya adalah Shadr, Qalbun, Fuad dan juga lubbun. Ini yang memerlukan praktek sehingga hati itu tidak mati, beku dan tidak bisa menangkap Cahaya Tuhan di dalam diri kita.
Tokoh Tatar Sunda yang juga hadir dalam kesempatan tersebut, Ki Djatnika Nanggmihardja, yang berasal dari Cibinong, menguraikan tentang kaitan antara ajaran ajaran Sunan Gunung Jati dengan bambu bahkan juga aliran pencak silat yang terkenal yakni Cimande, di mana pembelajaran Cimande di awali dari talek.
Talek ini diambil dari ipat ipat Sunan Gunung Jati. Dengan talek inilah, manusia mendapatkan kemuliaan dan posisi tingginya sebagai manusia. Diantara talek itu isinya adalah, Tidak boleh ujub, ria, takabur dan Sum’ah.
Sementara tamu istimewa yang turut hadir dalam acara tersebut, adalah Randy Van Zicchem Phd. Dari Suriname,yang mana gelar doktoralnya adalah membedah tentang Cimande dari Perspektif dinamis, yaitu Bela Diri Cimande bukan hanya sekedar pukul memukul tapi juga sebagai Pendidikan yang disebut dengan nama Phscho Physcis.
Pendidikan Fisik yang bisa merubah karakter dan perilaku. Randy, mengungkapkan, betapa dalam dan tingginya konsepsi kepemimpinan Sunan Gunung Jati, sehingga begitu penting bagi generasi muda untuk mengikuti jejaknya.
Kepemimpinan Sunan Gunung Jati, karenanya bukanlah kepemimpinan wacana atau menara gading tapi transformasional. Kepemimpinan yang sarat makna dengan mendobrak kemiskinan.
Penulis : H. Sariat Arifia, peneliti dan penulis buku Fatahillah,”Panglima Aliansi Nusantara”
Posting Komentar