MEDAN, suarapembaharuan.com - Sebagai pihak yang mendapatkan hak mengelola aset negara dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), PT. Perkebunan Nusantara-II (PTPN-II) berhak mengalihkan HGU-nya ke pihak lain, apalagi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) di mana lahan HGU tersebut berada.
Prof. DR M. Yamin Lubis (Ist) |
“HGU adalah hak private, sehingga bisa diberikan ke pihak lain. Dan tidak ada masalah seandainya pihak berikutnya mengubah peruntukannya menjadi HGB, misalnya. Tidak ada yang salah, itu sah-sah saja menurut hukum kita,” jelas Prof. DR. M Yamin Lubis, pakar Hukum Agraria, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Senin (06/12/2021).
Menurut M Yamin yang juga Ketua Prodi, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatara Utara (UISU) ini, selama ini banyak yang salah kaprah terhadap HGU Perkebunan. Ada anggapan, jika masa HGU berakhir, maka lahan eks HGU dengan sendirinya kembali ke negara, dan siapa saja boleh menguasainya. Padahal yang sebenarnya, masa berlaku HGU PTPN boleh berakhir, tapi status kepemilikannya masih tetap di PTPN.
“Jadi tidak benar kalau masa HGU berakhir lantas lahannya menjadi lahan yang bebas untuk digarap dan dimiliki. Dasar hukumnya apa? Kita harus dudukkan dulu dasar hukumnya. Tidak boleh asal-asalan hanya untuk kepentingan sejumlah pihak,” tegas Yamin Lubis.
Kerjasama Legal
Menyinggung kerjasama PTPN-II dengan Ciputra group, dalam rangka melakukan optimalisasi aset, khususnya yang tidak lagi sesuai untuk areal perkebunan – yang selama ini menjadi foKus bisnis PTPN-2, menurut Prof. M. Yamin, merupakan tindakan yang benar secara yuridis. Sebab langkah kerjasama ini sudah disesuaikan dengan perubahan lingkungan dan sesuai dengan RUTRW
Hal senada diungkapkan SEVP MA PTPN-II Pulung Rinandoro, kerjasama yang digagas sejak tahun 2011 ini sudah melalui kajian dan penelitian serius menyangkut berbagai aspek, termasuk aspek hukum, sosial dan lingkungan.
Bagi PTPN-II ini adalah momentum yang baik untuk mengoptimalisasi potensi lahan perkebunan yang sudah kurang produktif dan tidak selaras lagi dengan perkembangan tata ruang dan lingkungan yang ada saat ini. Itu sebabnya, lahan yang akan dikerjasamakan dengan Ciputra Group, hanya 8.077 hektar. Di mana dari jumlah itu, 2.513 hektar di antaranya akan dibangun sebagai kawasan permukiman modern (residensial).
Sementara sisanya diperuntukkan bagi kawasan bisnis, industry dan kawasan hijau. Proyek ini akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian Kabupaten Deli Serdang dan masyarakat dengan terciptanya pusat-pusat perekonomian dan terciptanya lapangan kerja baru.
“Kita sudah menentukan titik-titiknya, mulai dari kebun Helvetia, Sampali, Saentis, Bandar Khalipah sampai Batangkuis, dan Tanjung Morawa. Semuanya adalah lahan HGU aktif, yang sudah mendapat persetujuan Menteri BUMN dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), untuk diubah peruntukannya sesuai dengan Permen ATR No. 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan Permen ATR No. 18 tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah,” jelas Pulung yang didampingi Kabag Hukum Ganda Wiatmaja.
Semua proses yang menyangkut persyaratan untuk terlaksananya proyek kerjasama ini sudah berjalan sesuai dengan ketentuan.
Menyinggung masih adanya sejumlah pihak yang mengklaim memiliki hak atas lahan HGU PTPN-II, menurut Prof M. Yamin Lubis, sangat tidak berdasar. Apalagi cuma dengan selembar surat Kepala Desa, atau pun lembar bukti pembayaran PBB.
“Kedua bentuk surat itu sama sekali tidak bisa dipakai sebagai bukti kepemilikan atas lahan HGU. Surat Kepala Desa, misalnya, bunyinya cuma sekadar pengakuan pihak tertentu atas lahan yang dikuasainya, dan diketahui Kepala Desa. Tidak ada diktum dalam surat Kepala Desa yang menyebutkan lahan tersebut milik si A, atau si B, misalnya. Sementara bukti pembayaran PBB, adalah kewajiban terhadap seseorang yang mengusahai tanah. Bukan bukti atas kepemilikan tanah,” jelasnya.
“Jadi selegal apa pun surat yang dibuat atas lahan HGU, itu adalah “okupansi liar”, menurut istilah pakar hukum agraria, almarhum AP. Parlindungan Lubis,” tambah Prof. M. Yamin Lubis.
Sementara menurut hasil penelitian yang dilakukan sejumlah pakar hukum agraria selama ini, tidak pernah ada Grant Sultan, yang dibuat di atas lahan konsesi, atau lahan yang dipinjamkan Sultan Deli kepada pengusaha Belanda di era Kolonial. Yang ada adalah Grant Sultan atas lahan-lahan yang ada di luar lahan konsesi.
Kategori : News
Editor : AHS
Posting Komentar