23 Tahun Reformasi, Perhimpunan Pergerakan 98 Sebut Ancaman Oligarki dan Neo Orba

MEDAN, suarapembaharuan.com - Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 menyebut ancaman oligarki dan neo orde baru semakin nyata di usia 23 tahun reformasi atau kejatuhan Presiden Soeharto.


Istimewa

Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang menilai pasca 23  Soeharto lengser atau yang dikenal sebagai era reformasi, lonceng kematian reformasi sudah terdengar.


"Kematian kawan juang kami Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, Mahasiswa Trisakti serta korban kekerasan dan penembakan saat unjuk rasa Mei 98 di Medan, Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar dan kota lainnya seakan sia - sia," kata Sahat dalam konferensi pers di Medan, Kamis 20 Mei 2021.


Presiden Jokowi, mantan Presiden SBY serta mantan Presiden Megawati Soekarno Putri,ujar Sahat tidak memperlihatkan keseriusan menuntaskan secara hukum penembakan mahasiswa Trisakti dan mahasiswa lainnya, meski Presiden Jokowi dan kedua mantan presiden tersebut memiliki kemampuan politik mendorong peradilan kepada pelaku penembakan mahasiswa.


"23 tahun lalu ribuan mahasiswa dan rakyat turun ke jalan mendesak reformasi politik, ekonomi dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau KKN. Soeharto dan Orde Baru (Orba) dianggap gagal. Sesungguhnya gagasan reformasi hadir untuk tatanan baru yang melahirkan harapan baru datangnya perubahan yakni: rakyat sejahtera, negara kuat, demokrasi dan kesetaraan serta Indonesia yang ber - Bhinneka Tunggal Ika tanpa sikap intoleran terhadap suku dan agama," kata Sahat.


Gerakan reformasi 98, sambung Sahat, adalah gerakan sosial transformatif yang tidak memiliki kepemimpinan tunggal. Simpul - simpul rakyat, komunitas, bergerak memiliki pemimpin kelompoknya sendiri - sendiri.


"Tidak ada aktor tunggal aktivis 98. Unjuk rasa ribu mahasiswa waktu itu dipimpin secara bergantian oleh ratusan pemimpin kelompok aksi mahasiswa yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia. Sebagian besar aktivis Perhimpunan Pergerakan 98 adalah mantan aktivis Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) era 90 - an," ujar Sahat.


Turut mendampingi Sahat dalam konferensi pers penasihat Pendeta Saut Sirait, Raya Timbul Manurung dan jajaran pengurus nasional.


Enam hal yang menjadi tuntutan Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 yaitu,


1. Presiden Jokowi harus menepati janji politiknya menuntaskan penembakan mahasiswa Trisakti dan mahasiswa lainnya secara hukum. 


2.  Reformasi Ekonomi dengan kembali ke Pasal 33 UUD 1945. Ekonomi Indonesia belum kunjung membaik. Penyebabnya karena ekonomi Indonesia dikelola dengan cara neo -liberal kapitalisme dan neo -feodalisme yang sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yakni demokrasi ekonomi yang berpegang pada prinsip produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan untuk tujuan kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran seseorang saja. Pengelolaan ekonomi Indonesia saat ini persis seperti masa Orba dikuasai oleh konglomerat bersama oligarki dalam bentuk kolusi dan nepotisme melahirkan sedikit orang kaya namun banyak orang miskin. 


3. Penegakan Hukum Yang Adil. Sampai saat ini hukum merupakan hal yang menakutkan bagi orang miskin. Hukum dijadikan alat pemukul kepada yang lemah dan menjadi alat memenangkan kepentingan kelompok yang berkuasa. 


"Hukum bukan lagi proses mencari keadilan, namun membela kepentingan perorangan atau kelompok. Hal ini persis seperti masa Orba berkuasa," kata Sahat.


Ancaman Neo Orba, ujar Sahat, semakin nyata dengan pelemahan lembaga hukum seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi. "Kami mendukung setiap upaya melahiran pegawai KPK yang berintegritas dan berwawasan kebangsaan," ujar Sahat.


Namun saat yang sama, sambung Sahat, mereka bertanya kepada pemerintah dan Presiden Jokowi kenapa tes wawasan kebangsaan tidak dilakukan juga kepada pegawai BUMN, para dosen perguruan tinggi negeri bahkan kepada TNI/Polri.


"Masih segar dalam ingatan kita Komisaris Independen PT Pelni Kristia Budiyarto melakukan perlawanan kepada kelompok pegawai PT Pelni yang terlibat radikalisme. Selain di PT Pelni, kegiatan radikalisasi pegawai BUMN masih terus berlangsung di PTPN III (Holding), PT. Pelindo I, PT Semen Padang; BTN dan sejumlah Bank BUMN, namun kami bertanya, kenapa Menteri BUMN Erick Thohir tidak melakukan tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai BUMN seperti kepada pegawai KPK ? Padahal Erick Thohir mengaku telah menerima data pegawai BUMN yang terpapar radikalisme dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD," kata Sahat.


Selain pegawai BUMN, kampus yang didalamnya terdapat interaksi dosen dan mahasiswa yang seharusnya menjadi tempat ilmu pengetahuan dan menghormati keberagaman, ternyata menjadi tempat bibit radikalisme dan intoleransi. 


"Sesepuluh perguruan tinggi sudah disebut Kementerian Pendidikan sebagai kampus bersemainya radikalisasi.Adapun di Pulau Sumatera kami melihat gejala radikalisme dan intoleransi menguat di Kampus Universitas Sumatera Utara, Universitas Riau dan Universitas Andalas," tutur Sahat.


Adapun pernyataan Menteri Pertahahan Ryamizard Ryacudu di Mabes TNI, Rabu 19 Juni 2019, dari sekitar 975.750 anggota TNI, ada 3 % prajurit TNI terpapar radikalisme.


"Kenapa hanya pegawai KPK yang tidak sampai seribuan di uji wawasan kebangsaanya," ujar Sahat.


3. Menghentikan dan melawan politik transaksional yang melahirkan oligarki. Parpol sebagai lembaga politik formal yang berkompetisi merebut suara rakyat dalam setiap Pemilu untuk tujuan berkuasa, sejatinya melahirkan pemimpin reformis.


"Namun faktanya pemimpin parpol tingkat pusat hingga daerah menjadi oligarki dan gank politik atau berkoalisi taktis demi kekuasaan sehingga mengubur sikap pembaharuan atau reformis. Kondisi ini mengancam keutuhan NKRI. Apalagi sejak era multi partai Pemilu 1999 hingga 2019, tidak ada satu partai pun yang menang mutlak atau single majority. Watak pragmatisme pimpinan parpol menyebabkan masyarakat terbelah," tutur Sahat.


4. Memperkuat pemberantasan korupsi dan melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi.


5. Mendukung pembatasan masa jabatan presiden 2 periode sesuai semangat reformasi. 


Penasit Perhimpunan Pergerakan 98 Pendeta Saut Sirait mengatakan, gerakan reformasi melahirkan tokoh pergerakan mahasiswa di hampir semua kota di Indonesia.


"Dan itu yang membuat gerakan 98 sebagai kekuatan moral tidak mudah ditundukkan rezim," ujar Saut.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama